Oleh : TM. Jamil, Dr, Drs, M.SiAssociate Profesor pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh
Entah Mengapa, Di masa kampanye berjalan dan bahkan saat perhitungan suara, Bawaslu (Panwascam) sudah mulai mengeluhkan kewenangannya. Lembaga pengawas Pilkada ini merasakan adanya degradasi aturan, terutama dalam kewenangannya mengawasi politik uang. Sulit bagi Bawaslu untuk membuktikan adanya pelanggaran money politic, sebab UU Pilkada dinilai membatasi subyek hukum pemberi uang. Jadi, kalau ada praktik politik uang, dan tidak masuk dalam subyek hukum UU Pilkada, tidak bisa ditangkap.
Subyek hukum pelanggar politik uang dalam UU Pemilu hanya terbatas pada paslon presiden dan wakil presiden; calon anggota DPR, DPD, dan DPRD; tim kampanye Pilkada, dan pelaksana kampanye Pilkada. Tetapi, bukankah semua orang yang tidak masuk dalam subyek hukum pengawasan PEMILU atau Pilkada dapat juga berperan sebagai kurir atau ‘mafia’ politik uang? Dan juga, apakah aturan ini berarti mahar politik hanya diawasi saat pencalonan sudah selesai? Sebab, transaksi politik uang, seperti yang pernah ditudingkan kepada Andi Arief (Politisi Partai Demokrat) beberapa waktu yang lalu terjadi pada saat proses pencalonan sedang berjalan.
Selain itu, dalam melakukan penindakan awal pelanggar, harus didahului oleh penindakan pidana, bukan pada penindakan administratif. Jadi, semakin sulit bagi Bawaslu untuk melakukan pembuktian. Juga, menurut pengamat politik Adi Prayitno, Bawaslu tidak dapat serta-merta menuding pelanggar kampanye politik uang apabila tidak disertai adanya bukti otentik. Dengan kondisi ini, menurut Bawaslu, UU Permilu, termasuk juga Pilkada lebih progresif dalam pengawasan politik uang, ketimbang UU Pilkada. Sebab, dalam UU Pilkada, siapapun yang terindikasi melakukan politik uang, dapat diproses. Sedangkan dalam UU Pilkada, hanya subyek tertentu saja yang masuk sebagai pelanggar. Apa yang membuat pengawasan di kedua level Pilkada ini berbeda? Apakah ini menandakan adanya titik konspirasi dalam regulasi pengawasan Pilkada? Hhmmm…
Di sisi lain, gelombang tuntutan agar Bawaslu lebih progresif dalam memerangi politik uang dinilai cukup massif. Perludem, misalnya, meminta Bawaslu agar bisa melakukan investigasi terhadap setiap dugaan mahar politik yang terjadi. Sebab, politik uang dianggap sebagai isue lama, sehingga penanganannya harus lebih progresif. Jika demikian, dengan adanya degradasi aturan pengawasan, ditambah dengan modus politik uang dinilai sudah semakin berkembang, mungkinkah Bawaslu dapat memerangi politik uang? Kita tunggu saja.
Apalagi, tafsir terhadap politik uang hanya ada pada pasal 71 ayat (1) PKPU yang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. Aturan ini dianggap belum terlalu mendetail, sehingga misalnya dalam membedakan mahar politik dan dana sanksi yang dimintai parpol saja, masih sulit untuk dilakukan. Bawaslu mengaku pesimis. Mereka mengaku, hanya lebih mengandalkan dorongan moral peserta Pilkada untuk tidak melakukan politik uang. Dan tentunya, mengandalkan kedewasaan masyarakat dalam menjaga marwah demokrasi Pilkada.
Rakyatpun tidak dapat diandalkan. Survei CSIS di Jawa Barat mengatakan 40,5 persen responden menyatakan akan menerima uang/barang yang ditawarkan tim sukses kandidat yang akan dipilih. Sikap serupa juga disampaikan oleh 48,7 persen responden CSIS di Jawa Tengah, 40,5 persen responden di Sumatera Utara, dan 43,9 persen responden di Sulawesi Selatan. Jika demikian, apakah perlu metode pengawasan dalam UU Pilkada diseragamkan dengan UU Pilkada? Toh, keduanya mengusung misi pengawasan yang sama.
Bagi saya, meski saya bukan pakar ilmu hukum, namun dalam amatan Sejauh ini money politics hanya sekadar small talk atau (basa-basi). Pasalnya, kekuatan hukumnya masih lemah. Dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pilkada, tidak terlalu banyak mengatur akan hal ini. Sejauh ini, belum pernah ada punishment terkait kasus ini. Apa alasannya? Dalam sebuah forum diskusi, saya pernah mengusulkan agar ada polisi ke-Pilkada-an. Tupoksi mereka adalah memeriksa setiap orang yang terlibat dalam money politics.
Sebagai contoh, di birokrat atau ASN, ada polisinya atau Satuan Pol-PP. Yang tugasnya memeriksa jika ada pelanggaran baik kode etik maupun moral dari pegawai negeri sipil (PNS) itu sendiri. Jika dibandingkan aturan money politik antara UU No 7 Tahun 2017 tentang Pilkada dan UU Pilkada, maka bisa dikatakan lebih impresif dan progresif UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sejatinya, Pasal 187 poin A hingga D harus diperkuat saja. Seperti disebutkan, orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan atau 6 tahun. Selain hukuman badan, pelaku juga harus dikenakan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sanksi pidana juga berlaku bagi penerima uang berbau politik. Meski demikian, saya nilai antara weakness and strengthen (kelemahan dan kekuatan) sama-sama tetap ada dan sangat terbuka untuk terjadi. Secara evidensia, maka sangat sulit membuktikan pelaku politik uang. Paling yang bersangkutan akan berkelit, dengan alasan ini bagian cost politik. Oleh karena itu, perlu adanya pasal yang mencatumkan secara eksistensi, esensi dan substansi akan hal ini, biar tidak kabur dan multi tafsir. Tapi akan sulit bagi penyidik untuk menetapkan sebagai tersangka. Contoh, kongkrit saja petinggi PSI sudah ditetapkan tersangka dalam pelanggaran Pilkada oleh Bawaslu.
Bahkan lembaga ini, sudah meminta pihak kepolisian menetapkan Sekjen dan Wasekjen sebagai tersangka namun hanya SP3 yang dikeluarkan. Biarkan saja itu menjadi bahan analisis ahli dan pakar hukum. Sebagai ilmuwan sosial dan politik, saya pikir Sudah saatnya polisi tidak lagi memeriksa pelanggaran Pilkada dan Pilkada seperti; mahar politik, money politics, politik dinasti dan sebagainya. Akan tetapi diserahkan ke Bawaslu atau KPU. Kalau tidak, maka tidak pernah akan ada hukuman. Perlunya ini ditetapkan pasal pidana. Biar the power of law cukup kuat.
Kalau kita benar-benar mau menegakkan keadilan, maka jangan takut mengambil tindakan jika itu merugikan orang banyak. Ingat politik itu ada nilai kesantunan dan kearifan. Kalau tidak sekarang kapan lagi. Memang resikonya akan di tentang oleh partai-partai peserta Pilkada. Paling tidak ujung-ujungnya akan digugat atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi percuma saja bikin aturan, jika itu hanya untuk dilanggar.
Benar sekali istilah: “Political is queen of social science” (politik adalah ratu dari semua ilmu sosial). Hukum pun tak berkutik menghadapi ilmu politik. Padahal, peraturan dibuat untuk melindungi. Saya teringat, Pada tanggal 1 Juli 2016 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota disahkan. Pasal 187A Ayat (1) menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian pada tanggal 15 Agustus 2017, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disahkan, Pasal 523 ayat (1) menyatakan, setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pilkada yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pilkada secara langsung ataupun tidak langsung dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Dalam kurun waktu sekitar 1 tahun, pengaturan politik uang pada pemilihan kepala daerah dan pengaturan politik uang pada Pemilihan Umum 2019, dalam hal ini pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan DPR, DPD dan DPRD Kabupaten/Kota, mengalami penurunan penormaan.
Jika dalam pemilihan kepala daerah, yang menjadi subyek hukum dalam tindak pidana politik uang adalah setiap orang, namun pada Pemilihan Umum 2019 yang menjadi subyek hukum dalam politik uang adalah setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye. Terdapat hal yang sangat ironis, mengapa pembuat undang undang, menciptakan norma tindak pidana politik uang justru mengalami penurunan, dari subyek hukum setiap orang menjadi setiap pelaksana, peserta dan tim kampanye. Dengan ketentuan tersebut, dalam pemilihan umum tahun 2019, berpotensi terdapat tindak pidana politik uang yang akan dilakukan oleh pihak lain di luar pelaksana/peserta/tim kampanye, yang tidak dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 523 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Padahal untuk menciptakan pemilihan umum yang jujur dan adil, seharusnya pembuat undang undang menciptakan peraturan yang mencerminkan rasa keadilan, ketentuan yang sudah baik dalam Pilkadakada sebaiknya direspon dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Oleh sebab itu, subyek dalam Pasal 523 Ayat (1) ini seharusnya berbunyi “setiap orang”, bukan setiap pelaksana, peserta, dan tim kampanye.
Memang, Politik uang tidak bisa didekati hanya dari pendekatan pidana Pilkada, akan tetapi juga dapat didekati melalui pelanggaran administrasi dan pidana non Pilkada. Justru dalam hal ini, otoritas penyelenggara seperti Bawaslu dan KPU perlu melakukan terobosan melalui penyusunan regulasi yang komprehensif melalui peraturan KPU dan Bawaslu. Sebab ranah undang-undang tidak dapat dikomentari oleh Bawaslu maupun KPU.
Yang perlu dilakukan adalah menawarkan formula dan konsep utuh kepada pembentuk undang-undang dalam ranah konsultasi dan meraih dukungan/legitimasi publik. Pidana Pilkada dapat dijadikan pedoman oleh penyelenggara sebagai ultimum remedium. Pidana Pilkada seperti dalam pasal 515, 519, 521, 523, telah jelas subyek hukumnya, dan hal itu tinggal diproyeksikan sebagai bagian dari penindakan. Nah, Kapan itu dilakukan? Sementara itu, melalui pasal 93 hingga pasal 111 bagian pencegahan, memberikan mandat penuh kepada Bawaslu untuk menawarkan formula utuh pencegahan politik uang. Termasuk koordinasi dengan KPU agar instrumen PKPU tentang kampanye dan dana kampanye lebih progresif mendukung formula Bawaslu.
Hal ini masuk dalam ranah pengaturan dan sanksi administrasi kampanye dan dana kampanye Pilkada. Dilain hal, karena politik uang melalui sisi adanya larangan menerima sumbangan kampanye dari sumber illegal seperti pidana pencucian uang, judi dan narkotika, menuntut otoritas Pilkada koordinasi dengan kepolisian dan KPK. Sehingga peran KPU dan Bawaslu khususnya, lebih produktif menyusun skema pemberantasan politik uang berlandaskan UU Pilkada. Bukan mengeluh.
Sekalipun Bawaslu menilai penindakan yang didahului oleh ranah pidana dulu, sebelum ke penindakan administrasi merepotkan, seharusnya diikuti saja dulu. Sebab administrasi Pilkada sekarang menumpuk di Bawaslu melalui ajudikasi. Justru, data pengawasan bisa dibuka di sidangnya Bawaslu. Hal ini lebih powerfull. Memaksa adanya argumen dan bukti. Tuntutan untuk dapat menangkap pelaku politik uang yang harus masuk kategori terencana dan sistematis merupakan tantangan.
Namun, peran bawaslu sekarang sudah seperti penuntut dalam sidang ajudikasi, asal data pengawasan dilakukan. Ingat, kebaikan undang-undang menjadi spirit dalam mencapai tujuan hukumnya. Jadi, harus lebih cerdas dan giat, tidak malas dan berlindung atas undang-undang yang tidak (mungkin) sempurna. Ini peristiwa politik hukum, hukum, dan lex specialist. Soal pidana Pilkada sekali lagi letakkan sebagai penghukuman keras dan terakhir. Bawaslu atau Panwascam yang kemudian pesimis dan menyerah hanya dengan gerakan moral merupakan bentuk kemalasan berpikir. Gerakan moral ini tidak efektif, sebab Pilkada itu peristiwa politik sesaat, bukan sepanjang tahun. Maka bekerjalah dengan serius dan penuh rasa tanggung jawab moral untuk bangsa ini. Semoga … !!!
Editor: Ayahdidien