by M Rizal Fadillah*
Berita HU Republika Jum’at 28 Oktober 2022 bertitel “JPU Sebut Ada Peluang Bukti Baru Km 50” cukup menarik dan memperkuat dapat terjawabnya tantangan dan janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit di depan DPR yang menyatakan siap membuka kembali kasus Km 50 jika ada novum atau bukti baru.
Meski sudah diajukan secara resmi novum berupa Buku Putih dan fakta persidangan Habib Bahar Smith di PN Bandung tetapi Kepolisian tetap bergeming. Tidak ada tanda-tanda untuk segera melakukan proses penyidikan. Namun dakwaan JPU dalam kasus obstruction of justice Brigjen Pol Hendra Kurniawan menyebut bahwa AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay terlibat dalam rekayasa CCTV kasus Km 50 menyebabkan Acay menjadi novum atau bukti baru.
Acay terlibat dalam menghilangkan atau mengedit atau melakukan rekayasa CCTV sebagai bukti penting yang selama ini ditutupi. Acay sendiri mengaku bukan bagian dari tim penyidik akan tetapi ia belum diperiksa dalam kasus Km 50 tersebut. Akibat hukumnya adalah Acay harus dapat diterima sebagai novum.
Kapolri Listyo Sigit tidak bisa menghindar atas janjinya untuk membuka kembali kasus Km 50. Penyidikan Kepolisian harus mulai dilakukan. Ini salah satu jalan yang dapat ditempuh. Jalan lain adalah Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan pro justisia. Landasannya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Komnas HAM merupakan penyelidik untuk penyidikan yang langsung dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Polisi tidak terlibat dalam proses ini. Hal ini sangat pas mengingat pelaku kejahatan di antaranya adalah aparat Kepolisian. Menurut UU 26 tahun 2000, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hok yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Obyektivitas lebih kuat.
Pembantaian 6 anggota Laskar Pengawal HRS adalah pelanggaran HAM berat. Dilakukan secara sistematik yang dimulai dari disain “Operasi Delima”, penguntitan “Sentul”, pembantaian “Km 50” dan rekayasa “Obstruction of Justice”. Terkuak ada operasi Satgassus Sambo yang melibatkan Kapolda Fadil Imran.
Kerja Komnas HAM lama sesungguhnya sia-sia karena kebodohannya sendiri yang bekerja hanya berdasarkan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM. Melakukan penyelidikan tidak pro justisia dan sekedar pemantauan atau penyelidikan piknik. Kesana-kemari tanpa mutu dan efektif.
Kini untuk membuka kembali kasus Km 50 menjadi sebuah keniscayaan. Dua pilihan yang dapat dilakukan untuk memulai yaitu Penyidikan Kepolisian berdasarkan Novum atau Komnas HAM segera bekerja berdasar UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Simultan tentu lebih baik.
Kejahatan kemanusiaan pembantaian 6 anggota Laskar FPI adalah hutang Pemerintahan Jokowi yang harus segera dibayar.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 30 Oktober 2022
.