Bekasi, Jawa Barat, Sriwijaya Today — Pemerintah Kabupaten Bekasi kembali menjadi sorotan setelah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2024 menemukan adanya dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Temuan itu menyingkap adanya kelemahan sistem pajak daerah yang menyebabkan pengenaan ganda nilai tidak kena pajak serta belum terdatanya ribuan bidang tanah hasil program sertifikasi PTSL. Akibat kelalaian tersebut, daerah berpotensi kehilangan pendapatan hingga miliaran rupiah.
Audit yang dilakukan BPK menunjukkan bahwa dari total realisasi pendapatan pajak daerah sebesar Rp2,44 triliun pada 2024, BPHTB menyumbang Rp967,23 miliar atau sekitar 39,5 persen.
Namun, di balik capaian itu, terdapat 244 transaksi yang menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) identik dan memperoleh potongan pajak ganda melalui fitur dalam aplikasi e-BPHTB. Padahal, sesuai ketentuan, setiap wajib pajak hanya berhak atas satu kali pengenaan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
BPK mengungkapkan, celah ini muncul karena sistem aplikasi memungkinkan pembuatan ulang Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) untuk NIK yang sama setelah data kedaluwarsa diaktifkan kembali. Prosedur verifikasi manual yang dilakukan petugas Bapenda juga tidak mampu mendeteksi duplikasi tersebut karena banyaknya transaksi harian. Akibatnya, terjadi kekurangan penetapan BPHTB sebesar Rp496.999.998,85 yang berpotensi menjadi kerugian daerah.
Selain itu, audit juga menemukan permasalahan serius dalam pendataan BPHTB atas tanah hasil program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Dari 14.938 bidang tanah yang telah disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi sejak 2018, baru 2.582 bidang yang berhasil dipadankan datanya oleh Bapenda. Selebihnya belum memiliki data Nomor Objek Pajak (NOP) dan status BPHTB terutang. Kondisi ini membuat potensi penerimaan daerah dari sektor BPHTB tak bisa dihitung secara akurat.
Padahal, sesuai Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 6 Tahun 2018, BPN wajib menyampaikan daftar BPHTB terutang kepada pemerintah daerah setiap tiga bulan sekali. Namun, hingga pemeriksaan berakhir pada Mei 2025, BPN belum memberikan laporan tersebut secara lengkap.
BPK menilai lemahnya koordinasi antara Bapenda dan BPN menjadi faktor utama terhambatnya proses pendataan dan penetapan pajak atas sertifikat tanah PTSL.
Temuan tersebut dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan, antara lain Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 8 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah, Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pemungutan BPHTB, dan Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2023 tentang Tugas dan Fungsi Bapenda.
BPK menegaskan bahwa Kepala Bapenda tidak optimal dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas bawahannya, sementara Kepala Subbidang Penetapan dianggap belum menjalankan fungsi verifikasi dengan baik.
Menanggapi temuan itu, Bupati Bekasi melalui Kepala Bapenda menyatakan sependapat dengan hasil audit BPK dan berjanji menindaklanjuti seluruh rekomendasi dalam waktu 60 hari.
Pihak Bapenda juga mengklaim telah menutup celah dalam sistem e-BPHTB yang memungkinkan terjadinya duplikasi, dengan menambahkan fitur deteksi otomatis terhadap transaksi yang menggunakan NIK sama.
Bapenda juga telah mengirim dua surat resmi kepada BPN Kabupaten Bekasi, masing-masing pada 16 Januari dan 9 Mei 2025, untuk meminta data peserta PTSL dan catatan BPHTB terutang.
Namun hingga kini, data lengkap tersebut belum diterima. Akibat keterlambatan itu, BPK menyatakan potensi penerimaan dari ribuan bidang tanah belum dapat dipastikan nilainya, meski secara kasar bisa mencapai puluhan miliar rupiah jika dihitung berdasarkan rata-rata nilai BPHTB per transaksi.
BPK merekomendasikan Bupati Bekasi agar memperketat pengawasan terhadap pengelolaan BPHTB, meningkatkan koordinasi dengan BPN, dan mengembangkan sistem elektronik yang mampu mencegah pengenaan NPOPTKP lebih dari satu kali. Audit ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah daerah agar memperkuat sistem pengendalian internal dan transparansi pengelolaan pajak, untuk menutup peluang manipulasi serta kebocoran pendapatan daerah di masa mendatang.
Kasus ini menunjukkan bahwa meski sebagian kesalahan bersifat administratif, lemahnya kontrol dan pengawasan internal membuka ruang terjadinya penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan daerah.
Apabila ditemukan unsur kesengajaan dalam manipulasi data, maka penyimpangan tersebut dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(Harno Pangestoe)
Editor: RedaksiSumber: https://sriwijayatoday.com








