by M Rizal Fadillah*
Gugatan terhadap Presidential Threshold 20 % marak kembali. Dukungan meningkat dibanding gugatan-gugatan sebelumnya. Pilpres 2024 yang semakin dekat membuat suasana lebih hangat. Keinginan berdemokrasi dalam makna keadilan berbasis hak asasi terus menguat. Oligarkhi sebagai sistem kekuasaan saat ini menghadapi tantangan serius dari rakyat. Presidential Threshold 20 % dianggap sebagai mesin pembunuh kehidupan berdemokrasi.
Perjuangan untuk menghapus Presidential Threshold (PT) patut mendapat dukungan dari berbagai elemen baik akademisi, mahasiswa, ulama, buruh, aktivis LSM maupun politisi yang masih berfikiran waras. Hal ini disebabkan Presidential Threshold 20 % merupakan produk rekayasa politik brutal dari rezim Jokowi.
Di samping membunuh demokrasi dan membangun oligarkhi, Presidential Threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu itu berbahaya karena :
Pertama, perwujudan dari politik licik. Persiapan Pilpres 2019 untuk menjadikan Jokowi sebagai Presiden untuk kedua kali dibutuhkan kelicikan berupa tidak mengundurkan diri dari jabatan dan memperkecil pesaing hanya dua pasang dengan PT 20 %. Bagaimana tidak licik, hasil Pemilu legislatif terdahulu dijadikan standar atau parameter Pilpres kemudiannya.
Kedua, memunculkan Presiden boneka. Minimnya pasangan membuat bandar atau cukong dapat mengendalikan seluruh pasangan dengan kekuatan uang. Akibatnya Presiden tidak mandiri dan ia harus mengikuti segala kemauan pemodal. Menjadi boneka yang dimainkan dalang.
Ketiga, tidak memunculkan figur terbaik. Kompetisi dipastikan tidak sehat karena partai-partai melakukan transaksi pragmatik dengan figur yang didukungnya. Kualitas dan kapasitas kandidat tidak penting, semua berdasarkan atas kalkulasi figur “yang mungkin menang”. Membela yang bayar dan suara rakyat dijamin ambyar.
Keempat, kooptasi partai politik. Partai politik terikat dalam koalisi. Partai yang berkoalisi itu tersandera oleh kapitalisasi bandar dan komitmen kepada Presiden. Partai partai membebek kepada Presiden yang prakteknya dikendalikan oleh oligarkhi berbasis kapital. Sistem Presidensial berpola koalisi adalah quasi Parlementer. Kooptasi merupakan konsekuensi.
Kelima, menciptakan sistem politik Demokrasi Terpimpin. Demokrasi yang hanya slogan dimana rakyat sama sekali tidak berkuasa dan berdaya. Kekuatan terkonsentrasi pada Presiden bersama partai koalisi dan elemen oligarkhi di belakangnya. Memimpin, mengarahkan dan memaksakan kemauan untuk memperbesar kekuasaannya sendiri (self aggrandizing).
Mengingat bahaya dari Presidential Threshold 20 %, konsisten dengan asas kedaulatan rakyat, serta agar dapat berkompetisi figur-figur politik yang berkualitas, maka pilihan Presidential Threshold 0 % adalah suatu keniscayaan.
Dukung penuh Pesidential Threshold 0 % lawan pihak-pihak yang keberatan dan mempertahankan Presidential Threshold 20 %. Pihak-pihak pendukung kezaliman politik.
*) Analis Politik dan Kebangsaan
Bandung, 17 Desember 2021