ENTAH MENGAPA, “SAYA TAK PERNAH PERCAYA ORANG MISKIN YANG MELAKUKAN KORUPSI”
0leh : T.M. Jamil (Senior Lecture, Pengamat Politik, Akademisi USK, Banda Aceh.)
KORUPSI SAAT INI sudah menjadi trend dimana-mana, yang melakukan korupsi pun sudah tidak mengenal kelas dan strata lagi, mulai dari level menteri, sampai kepada level kepala desa, mulai dari kepala biro sampai kepada kepala bagian, mulai dari yang putus sekolah sampai yang bergelar doktor, bahkan guru besar atau Profesor korupsi pun kini sudah mulai menjalar sampai ke penegak hukum dan swasta. Bahkan yang menyandang status ASN (Aparatur Sipil Negara) pun, tanpa disadari dalam kesehariannya telah melakukan perilaku korupsi kecil-kecilan dengan “terlambat masuk kantor dan cepat pulang sebelum waktunya” padahal telah digaji oleh negara dengan jam kantor yang sudah ditentukan.
Perilaku korup memang sudah menggurita dan sudah menjadi kanker ganas stadium empat yang susah disembuhkan dan yang lebih parah lagi terduga korupsi pun sudah tidak mempunyai rasa malu lagi tampil di depan publik. Lihat saja ketika mereka diwawancarai oleh awak media (cetak maupun elektonik) mereka tidak menampakkan wajah penyesalan apalagi perasaan bersalah dan dengan enteng mereka menjawab “kan ini baru dugaan belum tentu kami bersalah dan kita harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah”. Hhhhmm… itulah budaya kita yang selalu meremehkan sesuatu yang seharusnya ‘bermasalah’. Kita selalu menggunakan “jurus bela diri”, jika sudah terlanjur melakukan kesalahan. Bukankah yang cerdas beralasan hanya orang-orang terdidik atau saat ini yang bodoh pun semakin hebat dalam menipu.
Banyak orang yang bertanya, apakah korupsi yang sudah mengakar dimana-mana masih bisa diberantas sampai ke akar-akarnya, sehingga korupsi tidak ada lagi di muka bumi ini, terutama di negeri tercinta Indonesia, khususnya Aceh negeri syariah ? Jika kita realistis tentu jawabannya “TIDAK”, tetapi yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengurangi perilaku korupsi dengan cara mencabut akar-akar korupsi tersebut, yang akarnya adalah kebodohan dan kemiskinan, karena dari kebodohanlah yang melahirkan kemiskinan dan kemiskinan yang bisa membuat orang berperilaku korup. Itu logika berpikir yang beredar selama ini. Tapi, sejujurnya, Saya sendiri tak pernah percaya – pernyataan itu. Karena banyak sekali orang miskin dan menderita, tetapi tak pernah melakukan korupsi. Bahkan, yang sering terjadi orang yang terdidik dan kaya – acapkali melakukan tindakan yang tak bermoral ini. Astargfirullahal ‘Adhiem. Na’uzubillahi Min Zhalik. Berkaitan dengan itu, maka saya pikir – menarik juga untuk membaca dan memahami kutipan Pidato Guru Besar Kita berikut ini. Karena justeru ketidakjujuranlah yang membuat korupsi itu terjadi.
Hidup ini memang unik dan penuh misteri di baliknya yang menarik untuk dikupas. Selain itu, ia berlangsung dalam oposisi biner. Ada kesulitan dan ada pula kemudahan. Ada gelap dan ada pula terang. Ada yang datang dan ada pula yang pergi. Ada kisah orang sukses, dan ada pula yang gagal. Begitu seterusnya. Terkait dengan kisah sukses hidup, seorang pakar human resource development bernama Thomas Stanley (menurut Prof. Dr. Sugiyanto, M.Sc – Ketua Kopertis Wilayah VII dalam ceramahnya pada acara Dies Natalis ke III Universitas Ma Chung Malang, 3 Juli 2010) pernah melakukan penelitian terhadap 750 jutawan dunia tentang kisah sukses mereka dalam mengelola busines. Padahal, waktu yang tersedia juga sama dengan yang lain, yakni 24 jam per hari, kesempatan dan tantangan yang dihadapi juga sama dengan yang lain. Tetapi mengapa 750 orang itu sangat sukses, bahkan jauh melebihi orang yang lain?
Berangkat dari penelitiannya terhadap para jutawan tersebut, Thomas Stanley secara berurutan merangkum setidaknya ada 5 (lima) kunci pokok keberhasilan, yakni : kejujuran, kedisiplinan, kerjasama, team work yang kokoh, bekerja lebih keras dari yang lain.
Tulisan pendek ini hanya akan membahas tentang kejujuran. Kejujuran ternyata menempati urutan pertama. Mengapa? Perhatikan dengan serius berbagai keributan, persoalan, keruwetan, dan kesemrawutan dalam hidup ini, baik pada tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat sampai bangsa pangkalnya adalah kejujuran. Korupsi adalah contoh konkret dari tindak ketidakjujuran. Karena itu, korupsi bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Karena itu, sebuah negara atau bangsa tidak akan pernah bisa hidup sejahtera manakala dikelola dengan tidak jujur melalui praktik-praktik seperti korupsi dan manipulasi.
Sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini kita sangat resah karena ketidakjujuran begitu merajalela di kalangan oknum penguasa, dan elit politik negeri ini. Sudah tak terhitung begitu banyaknya mantan pejabat yang akhirnya masuk penjara karena terbukti melakukan korupsi atau bentuk-bentuk ketidakjujuran yang lain. Mata kita terbelalak ketika menyaksikan orang orang yang dulu memegang kekuasaan tinggi harus meringkuk di penjara karena ketidakjujuran yang mereka lakukan sendiri. Lalu hati kita seolah berkata “wajar jika di negeri kita yang sejatinya memiliki sumber alam yang melimpah, tetapi angka kemiskinan masih begitu tinggi. Salah satu penyebabnya adalah karena banyak pejabat negara yang tidak jujur sehingga menyalahgunakan keuangan negara yang notebene adalah uang rakyat”.
Lembaga Transparansi International Indonesa – Mereka mencatat, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sepuluh tahun terakhir naik dua poin, yang membuat posisi Indonesia naik ke peringkat 15 regional dan 88 dunia. Pada tahun ini, Indonesia juga termasuk negara dengan performa baik karena skor maupun peringkatnya naik, berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, yang skor atau peringkatnya turun meski masih di atas Indonesia. Meski demikian, secara umum prevalensi korupsi di Indonesia masih terbilang tinggi. IPK Indonesia di bawah rata-rata Asia Pasifik (43) dan Asia Tenggara (40). Menanggapi pencapaian ini, pemerintah menargetkan IPK 50 di tahun 2023. Semoga Saja. Indeks Persepsi Korupsi ialah indikator terkemuka praktik korupsi di suatu negara. Angka ini menggambarkan persepsi para pebisnis dan pakar terhadap korupsi di sektor publik. Rentang skornya dari 1 sampai 100, dengan 1 berarti sangat korup dan 100 berarti bersih dari korupsi.
Contoh lain, misalnya, kita bisa membayangkan bagaimana jika seorang atasan memiliki staf yang tidak jujur atau suka berbohong. Sementara atasan tersebut sangat mempercayainya. Karena tidak jujur, informasi yang disampaikan ke atasannya juga tidak benar. Dia berprinsip yang penting atasannya senang. Orang sekarang menyebutnya ABS (Asal Bapak Senang). Karena informasi yang diterima atasan tidak benar, maka kebijakan yang diambilnya juga salah. Nah, repot kan?
Seorang dosen, misalnya, yang menugasi mahasiswanya menulis makalah bisa sangat kecewa, jika ternyata makalah itu bukan buatannya sendiri atau waktu ujian si mahasiswanya nyontek. Padahal, dosen tersebut ingin sekali mengukur tingkat pencapaian atas materi yang diajarkan. Begitu juga seorang kepala kantor juga akan kecewa berat jika bendaharanya tidak jujur sehingga uang yang mestinya untuk kebutuhan kantor diselewengkan untuk keperluan lain atau malah pribadinya. Anehnya lagi uang yang dipotong dari karyawan atau pegawai sebagai “uang jaminan hari tua” pun hilang atau “dimakan” pribadi dan keluargaya.
Selanjutnya, Orangtua juga akan marah jika punya anak yang tidak jujur. Pembeli bensin akan sangat marah jika petugas yang melayani mengisinya dengan menggunakan ukuran yang tidak sama dengan volume bensin yang masuk. Siapa pun pasti akan marah, setidaknya kecewa, jika dibohongi oleh siapa pun pula.
Anehnya, dalam kehidupan sehari-hari kisah-kisah ketidakjujuran atau kebohongan begitu mudah kita temukan. Sebutlah seorang suami mengaku dirinya “duda” dan seorang isteri sah mengaku sebagai “janda”. Ada dengan semua ini? Pelaku mesum yang direkam dalam video porno yang tersebar luas dan masyarakat luas sudah mengenal siapa pelakunya masih berbohong kendati pasangan mainnya sudah mengaku. Akibatnya, masalahnya menjadi berlarut-larut karena ketidakjujurannya. Orang begitu mudah berbohong dan seolah-olah, jika sudah bisa membohongi orang lain, dia sudah merasa senang. Padahal, menurut para psikolog semakin orang yang dibohongi percaya atau semakin banyak orang percaya dengan kebohongannya, maka sesungguhnya dia semakin gelisah karena khawatir kalau-kalau kebohongannya suatu saat akan terbongkar.
Pembohong pasti tidak tenang dalam hidupnya. Sebab, dia selalu dihantui oleh perbuatan yang dia buat sendiri. Umpamanya orang yang berbohong itu adalah seorang karyawan perusahaan, maka dia tidak bisa produktif menjalankan aktivitasnya sebagai karyawan karena selalu khawatir kalau-kalau kebohongannya suatu saat diketahui oleh atasannya. Begitu juga jika seorang kepala kantor melakukan kebohongan, maka waktunya akan semakin tersita untuk memikirkan bagaimana cara menyembunyikan kebohongannya daripada menggunakan waktu untuk aktivitas produktif mengelola kantor dan bawahannya.
Begitu pula sebaliknya orang yang jujur akan menjalani hidup dengan tenang. Sebab, dia tidak memendam sesuatu yang dikhawatirkan, sehingga bisa memanfaatkan waktunya secara produktif. Dia tidak dikejar-kejar oleh kebohongan. Dengan jiwa yang tenang dan tidak gelisah, dia bisa memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk kepentingan yang positif. Karena itu, jika sebuah lembaga atau institusi publik penuh dengan orang-orang yang amanah, maka, insya Allah, lembaga itu akan produktif. Sebaliknya, jika di sebuah lembaga banyak orang yang tidak amanah, maka lembaga itu akan penuh dengan keruwetan dan kekacauan.
Tidak sedikit contoh, banyak orang yang berkemampuan biasa-biasa saja, tetapi memiliki kejujuran akan bisa lebih diterima oleh orang lain daripada orang hebat tetapi pembohong. Karena itu, kejujuran dibarengi dengan sikap rendah hati, dan kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain dengan saling menghormati, menerima kelebihan dan kekurangan orang lain akan menjadi salah satu kekuatannya atau daya kompetitifnya. Dengan demikian, di tengah-tengah banyak orang yang bohong, maka orang yang memiliki kejujuran tinggi akan dicari banyak orang. Ada pepatah Arab yang artinya semakin sesuatu itu berjumlah banyak, maka semakin rendah harganya, kecuali kejujuran dan kebaikan.
Kejujuran dan kebaikan bersifat universal. Di mana pun di dunia ini orang mengidamkannya. Sebab, ia indah dan agung. Lebih dari itu, ia menyelamatkan. Rasulullah Muhammad SAW pun dikenal sebagai manusia paling mulia di sisi Allah karena, salah satu sebabnya, ialah kejujurannya. Tak sekali pun Rasulullah berbohong dalam hidupnya. Begitu pentingnya nilai kejujuran, maka wajar jika Stanley menempatkannya sebagai unsur yang paling utama dalam menggapai keberhasilan. Selamat Mencoba Untuk Belajar Menjadi Insan Yang jujur dan mujur. Insya Allah, kita akan selamat dunia wal akhirah. Aamiinn Ya Rabbal Alamin.
Sagoe Atjeh Rayeuk, 09 Agustus 2024.
Editor: Ayahdidien