by M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 5 Juli 2022
SRIWIJAYATODAY.COM | Hari ini mengingatkan kembali peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 saat Presiden Soekarno menyatakan berlaku kembalinya UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Sidang Konstituante gagal menunaikan tugasnya. Alih-alih membahas rancangan UUD justru perdebatan berada di ruang ideologi. Kegagalan ini menyebabkan Presiden mengeluarkan Dekrit.
Dua monumen penting yang dibangun Soekarno dengan Dekrit. Pertama mendeklarasikan berlakunya kembali UUD 1945 sebagaimana ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Kedua, penghargaan tinggi terhadap aspirasi umat Islam. Di antara konsiderans nya menyatakan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Kembali ke UUD 1945 diawali dengan konsolidasi dan pertimbangan gagasan TNI saat itu. Jenderal AH Nasution memegang peranan penting dalam memberi solusi untuk mencegah friksi dan konflik tajam.TNI membaca pilihan terbaik, Soekarno menyetujui dan segera mendekritkan.
Kini UUD 1945 sudah teracak-acak sehingga semakin tidak jelas bahkan sepertinya telah terhapus dari jejak the founding fathers. Empat kali amandemen mengubah banyak pasal. Warnanya menjadi liberalistik. Sehingga tidak sedikit yang menyatakan bahwa konstitusi ini bukan lagi UUD 1945 tetapi berubah menjadi UUD 2002. Bahkan yang lebih ekstrim memberi predikat UUD sekarang adalah UUD 1945 palsu.
MPR terdegradasi dan dimandulkan, Presiden merajalela, DPR terkooptasi oleh Presiden bersama oligarki, lembaga baru MK tidak independen dan DPD yang tidak kuat. Konstitusi dapat diinterpretasi untuk merusak sistem ekonomi kekeluargaan. UUD mengacaukan pola penyelenggaraan negara. Negara menjadi oligarkis.
Saatnya untuk kembali ke UUD 1945 dan menata ulang pola penyelenggaraan negara yang telah berjalan kebablasan dan keluar rel. Benar bahwa dekrit dikeluarkan di masa orde lama yang berubah menjadi orde baru lalu orde reformasi dan kini orde oligarki. Orde dimana rakyat semakin tidak merdeka di bawah UUD 2002 atau UUD 1945 palsu itu.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberi penghargaan pada peran politik umat Islam dengan penerimaan Piagam Jakarta. Syari’at Islam sebagai jiwa dari UUD. Fakta kini syari’at itu tereduksi bahkan dijauhi. Ulama dikriminalisasi, agama menjadi obyek radikalisasi dan harus dimoderasi. Basis politik keagamaan adalah Islamophobia.
Kembali ke UUD 1945 mengembalikan pada politik keseimbangan akan peran umat beragama khususnya umat Islam. Umat yang potensial untuk mampu berkontribusi maksimal bagi kemajuan bangsa dan negara.
Umat Islam tidak layak untuk dimarjinalisasi apalagi sampai dimusuhi. Islamophobia harus diakhiri.
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” perlu ditimbang ulang agar MPR berdaulat kembali. Demikian juga dengan “Presiden ialah orang Indonesia asli” yang merupakan hasil kompromi yang dari awalnya “Presiden ialah orang Indonesia asli beragama Islam”. Prof. Jacob Elfinus Sahetapy dahulu adalah orang yang bertanggungjawab atas pencoretan kata “Asli”.
UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 sudahlah bagus, jika ada hal baru atas perkembangan yang ada bukan dengan cara perusakan melalui amandemen berulang-ulang tetapi dapat dituangkan dalam Ketetapan MPR atau adendum. UUD 1945 adalah UUD yang singkat dan supel.
Konteks kesejarahan, umat Islam dapat menerima dekrit kembali ke UUD 1945 dengan penghargaan atas perjuangan kenegaraannya. TNI mematangkan dan memandang solutif atas pemberlakuan kembali UUD 1945.
Kini awal pembenahan pola penyelenggaraan negara khususnya untuk mengubah orde oligarki adalah dengan mengingat kembali akan semangat dan tujuan bernegara dari the founding fathers.
Ingat Dekrit Presiden : Kembali ke UUD 1945 !
Editor: AyahDien