Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.SiAssociate Profesor, Akademisi dan Pengamat Politik, pada USK Banda Aceh
ENTAH apa yang lebih cocok untuk menyebut kepada Parpol di negeri ini? Kalau parpol di Indonesia mau disebut berciri partai modern, antara lain harus rapi menyangkut keanggotaan. Anggota betul-betul memiliki peran yang sangat penting. Jadi kalau ada pertanyaan siapa pemilik partai tersebut? Ya, anggota. Kadang yang jadi anggota juga bisa tiba-tiba, mendadak dan tanpa proses melalui pengkaderan. Dalam hal ini status keanggotaannya tidak semata ditandai dengan kartu anggota yang dipegang, tetapi juga menghidupkan partai itu melalui dana iuran anggota. Hhmmm… tentu siapa yang punya “modal” dapat menentukan “model” dari parpol tersebut
Mestinya, dalam pengambilan keputusan pun anggota itu dilibatkan dalam keputusan mengenai penentuan platform, kebijakan-kebijakan makro yang hendak diambil partai, dan apa yang hendak diperjuangkan. Bukan hanya elite partai saja yang menentukan. Maka jika partai hanya mementingkan elite, maka tunggu suatu saat partai ini akan ditinggalkan konstituen, pemilih atau massa.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh seorang ahli politik Robert Michel, partai memiliki kecenderungan oligarkis. Itu sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tetapi walaupun kecenderungannya oligarkis, harus diimbangi dengan keterlibatan anggota. Jadi, ada semacam chek and balance di dalam internal partai sendiri. Sebab anggota adalah representasi dari bagian masyarakat (part of society).
Tidak ada partai mewakili semua kelompok, yang ada ialah partai mewakil sebagian dari masyarakat. Oleh karena itu, Kartu Tanda Anggota (KTA) partai jangan dibaca secara administratif, tapi juga menandakan keterlibatan anggota itu. Ada “saham” berupa hak dalam pengambilan keputusan. Ada juga kewajiban untuk memperbesar partai, Membayar iuran dan seterusnya.
Kalau dilihat dari fakta hari ini, kita belum sampai kepada partai yang modern. Inilah yang menjadi problem kita. Oleh karena itu kita lihat kehidupan partai kita itu sebenarnya hanya sebagai representasi dari elite saja. Tidak ada kaitannya dengan apa yang menjadi kepentingan rakyat.
Elite itu berpolitik sendiri. Rakyat dan anggota diperlukan hanya pada saat pemilu, setelah itu tidak ada. Seperti hubungan “pembeli dan penjual” bisa putus saat proses selesai Jadi partai dikelola secara tradisional, dan musiman. Tidak sustainable dan tidak continue. Tidak ada hubungan dengan grassroot atau pemilih. Tidak ada mekanisme control dari pemilih.
Ini terlihat dari bagaimana partai menentukan pilihan, termasuk berkoalisi dengan apa dan siapa. Itu hak mereka. Rakyat dipaksa ikut maunya saja. Seharusnya partai bukan hanya melihat dari elektabilitas calon yang didukung, melainkan melihat ke mana arah dukungan konstituen atau pemilih. Polling memang perlu, tetapi sebatas untuk melihat kecenderungan, bukan satu-satunya tolok ukur pengambilan keputusan. Bahkan calon yang dibicarakan, disukai dan didukung pemilih atau rakyat, namanya bisa hilang tanpa kesan. Parpol tak butuh mereka, meski pemilih menginginkannya. Ya, begitulah “permainan” mereka…
Oleh karena itu, banyak koalisi yang lucu. Di pusat berkoalisi dengan partai A, tapi di satu provinsi dengan partai lain lagi. Itu kan konyol, memalukan, tidak sinkron harapan, keinginan antara pusat dan daerah. Kalau seperti itu, untuk apa ada partai? Itu jadi seperti sistem partai tunggal, dari segi administrasi memang sudah tunggal.
Sehingga dalam pengambilan keputusan strategis tidak mencerminkan representasi. Itu hanya murni kepentingan para elite, pengurus, dan ini sangat berbahaya. Seakan Parpol itu “perusahaan” milik pribadi atau keluarganya. Wajar jika kehidupan demokrasi kita tidak kunjung sehat dan tak kunjung menjawab problem-problem dalam kehidupan rakyat. Sebab siapa yang dilayani juga tidak jelas. Dan bahkan terkesan, pemilih hanya dibutuhkan untuk melengkapi proses saja. Keputusan tetap sudah ada di tangannya.
Secara administrasi saat ini, siapa yang mewakili petani, nelayan, pedagang, yang menjadi segmen mayoritas dalam konteks sosio ekonomi. Seharusnya ada partai yang mengambil posisi penguatan ekonomi menengah bawah. Tapi melalui mekanisme apa, tidak jelas juga. Cuma seperti sinterklas saja.
Hanya datang kasih kredit, setelah itu tidak ada kontrol dan pemberdayaan. Selain itu juga tidak ada penguatan akses, tidak ada alokasi dari berapa kredit biaya yang harus dikeluarkan untuk penguatan UMKM. Itu karena kekaburan pengorganisasian partai.
Sekarang siapa punya uang, merekalah yang menentukan arah kebijakan. Akhirnya partai itu menjadi instrumen kepentingan bisnis para elite, sekaligus instrumen penguatan jabatan para penguasa. Rusaklah negeri ini. Saya khawatir, lama-lama orang tidak percaya lagi pada Parpol dan akhirnya demokrasi menjadi “sakit” yang sulit untuk disembuhkan. Entahlah … Semoga tulisan ini menjadi renungan kita semua.
Kota Madani, 19 Mei 2024