KOPERASI ; LEMBAGA EKONOMI RAKYAT YANG TAK MERAKYAT
Oleh : T.M. Jamil (Associate Profesor, Senior Lecture, pada Program Doktor IPS, USK, Banda Aceh.)
PEMERINTAH telah bertekad untuk melakukan langkah dan kebijaksanaan strategis, agar perekonomian nasional dapat semakin tumbuh dan berkembang secara wajar dan proporsional. Komitmen tersebut dilakonkan dengan memprioritaskan pemberdayaan koperasi, pengusaha kecil dan menengah.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, ihwal dan seluk beluk tentang koperasi, perlu terus diinformasikan kepada masyarakat luas. Koperasi sebagai salah satu lembaga ekonomi, akan semakin dapat dipahami dan dirasakan mamfaatnya oleh masyarakat.
Untuk dapat mengaktualisasikan komitmen tersebut, sudah selayaknya pemerintah harus memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mengembangkan usaha melalui wadah koperasi. Sebagai wadah pengembangan usaha, koperasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota dan sekaligus menumbuhkan semangat kehidupan demokrasi ekonomi dalam masyarakat.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh anggoatanya, di mana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil koperasi.
Koperasi itu bertujuan sangat mulia, yaitu ; memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur.
Kinerja koperasi khusus mengenai perhimpunan, koperasi harus bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang umum mengenai organisasi usaha (perseorangan, persekutuan, dan laim sebagainya, serta hukum dagang dan hukum pajak. Organisasi koperasi yang khas dari suatu organisasi harus diketahui dengan menetapkan anggaran dasar yang khusus.
Secara umum, Variabel kinerja koperasi yang di ukur untuk melihat perkembangan atau pertumbuhan (growth) koperasi di Indonesia terdiri dari kelembagaan (jumlah koperasi per provinsi, jumlah koperasi per jenis/kelompok koperasi, jumlah koperasi aktif dan nonaktif). Keanggotaan, volume usaha, permodalan, asset, dan sisa hasil usaha.
Variabel-variabel tersebut pada dasarnya belumlah dapat mencerminkan secara tepat untuk dipakai melihat peranan pangsa (share) koperasi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Demikian pula dampak dari koperasi (cooperative effect) terhadap peningkatan kesejahteraan anggota atau masyarakat belum tercermin dari variabel-variabel yang di sajikan. Dengan demikian variabel kinerja koperasi cenderung hanya dijadikan sebagai salah satu alat untuk melihat perkembangan koperasi sebagai badan usaha.
Masih terngiang jelas ucapan seorang ekonom tentang koperasi di Indonesia. Hal pertama yang ia soroti langsung pada regenerasi. “secara teori koperasi memang bagus. Tapi, coba kita lihat prakteknya sekarang. Pengurusnya tidak ganti-ganti. Dari dulu sampai sekarang ketuanya ya itu-itu saja, Kalau mau maju, koperasi harus ada regenerasi, Setelah saya cermati, kondisi yang dituturkan sang ekonom itu memang banyak dijumpai pada koperasi di tanah air.
Ada yang menjadi pengurus hingga 30 tahun, 35 tahun, dan bahkan sampai meninggal. Astargfirullahal Adhiem. Uniknya, para pengurus sejati itu tidak pernah merasa malu tapi malah bangga karena mereka anggap hal seperti ini sebagai prestasi. “ada yang mengatakan, saya dipilih menjadi pengurus koperasi sudah 30 tahun lebih,” ujarnya bangga.
Maka, menarik kala ada seorang pegiat koperasi yang membatasi diri menjadi pengurus koperasi. Karena sebagian besar malah kebablasan, dengan dalih anggota memilih dirinya kembali. Namun, orang seperti ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dengan pola minimnya kaderisasi, sudah bisa ditebak, koperasi di Indonesia menjadi “Lembaga Bisnis Tua” dengan pola tradisional, dan dikendalikan dengan cara yang sangat konvensional alias kuno dan tak inovatif.
Akhirnya, usaha yang dipilihpun di bidang low risk, apalagi kalau bukan memutar uang alias simpan pinjam. Sehingga, jangan heran jika apapun jenis koperasinya, bisa dipastikan koperasi yang bersangkutan membesut usaha simpan pinjam (USP). Pasalnya, jenis USP ini yang paling mudah dioperasikan. Di mana-mana orang pasti butuh duit. Sedangkan jenis bisnis lain lebih repot, perlu inovasi, dan memiliki tingkat resiko lebih tinggi.
Kepemimpinan para sesepuh memang kaya pengalaman, tapi tidak berani mengambil resiko dan minim inovasi karena faktor usia. Bagaimana mungkin bisnis koperasi bisa maju, jika tongkat komando ada pada para sesepuh. Padahal, bisnis berjalan sangat dinamis. Kondisi masih lumayan jika para sesepuh yang menjadi pengurus tidak menjadi eksekutif. Tapi, akan sangat fatal jika pengurus yang diisi golongan tua itu juga menjadi eksekutif koperasi. Sehingga, bisa dipastikan ketika bisnis koperasi dalam ambang kehancuran, tidak ada langkah cepat ataupun strategi inovatif untuk menyelamat kan kapal koperasi yang hampir karam.
Bagi golongan tua masih ingin berkarya, sudah seharusnya mereka ikhlas berada di balik layar, menjadi penasehat dan pengarah bagi kaum muda yang memegang roda kemudi bisnis koperasi. Keberadaan para sesepuh tetap diperlukan bagi kemajuan koperasi. Tetapi, porsi dan perannya harus proporsional. Jika koperasi mau maju dan dilirik generasi muda, sudah saatnya pegiat koperasi fokus pada kaderisasi koperasi. Selain penting untuk mengembangkan bisnis koperasi, regenerasi juga urgen untuk menjaga sustainable organisasi koperasi. Kalau yang sepuh telah tiada, siapa yang akan menggantikannya?
Sebagai lembaga usaha, koperasi punya keterbatasan, sama halnya lembaga usaha lain. Oleh karena itu, tidak semua jenis usaha cocok dijalankan dalam bentuk badan hukum koperasi. Seperti yang pendapat dedongkot ekonomi Indonesia, Prof. Sadli yang menyatakan bahwa tidak semua usaha harus dikoperasikan. Sebagai lembaga ekonomi yang berwatak sosial, koperasi lebih cocok untuk pertanian dan kegiatan usaha di pedesaan. Sedangkan untuk industri dan perdagangan, lebih cocok menggunakan Perusahaan Terbatas.
Pendapat senada dilontarkan tokoh koperasi Indonesia Sularso. “Tidak semua jenis usaha cocok dikoperasikan,” ujarnya. Namun, jika kita amati, koperasi-koperasi besar di dunia merupakan koperasi pertanian, seperti di Jepang, Korea, Kanada, dll. Pendapat Prof Sadli dan Pak Larso, menurut hemat saya, ternyata benar.
Mengapa pertanian cocok untuk dikoperasikan? Sektor pertanian cocok dikoperasikan karena melibatkan banyak orang yang menjadi salah satu modal penting bagi kemajuan sebuah koperasi. Masalahnya, semakin besar jumlah anggota, maka semakin besar pula pasar atau konsumen koperasi. Ingat, anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pelanggan yang baik jika kita mampu memberdayakannya.
Faktor lain mengapa pertanian sangat relevan berbadan hukum koperasi karena para petani memiliki kegiatan usaha yang sama. Sehingga, partisipasi ekonomi anggota akan berjalan dengan baik. Dengan menyatu dalam koperasi, para petani juga mempunyai kekuatan modal yang besar.
Dampak positifnya, mereka akan memiliki “bargaining position” dalam menentukan harga komoditas pertanian. Selain harga komoditas, dengan berkoperasi para petani memiliki peluang mendirikan swalayan atau toko grosir yang menjual hasil pertanian mereka.
Akhirnya, kekuatan produsen dalam hal ini petani dan konsumen dapat berimbang. Nah, yang menjadi pertanyaan, mengapa koperasi pertanian di Indonesia tidak berkembang? Padahal, negeri ini adalah negeri agraris. Jawabannya bisa beragam. Ada yang menduga faktor Sumber Daya Manusia, mengingat para petani kita beda dengan petani di luar negeri. Ada juga yang menghubungkan dengan regulasi pemerintah yang tidak kondusif bagi perkembangan koperasi di tanah air. Entahlah….!!!
Penyakit korupsi telah mewabah hampir ke seluruh sendi kehidupan di negeri ini. Gembar gembor menangkap koruptor dan menjebloskannya ke penjara, tidak membuat para ‘tikus’ gentar, malah mereka praktek terang-terangan dan secara terbuka, tak terkecuali di koperasi. Keinginan untuk hidup mapan, enak, berpenampilan wangi dan necis,membuat orang mudah gelap mata.Tak pelak lagi, apa yang bisa didagangin, ya dibisnisin saja. Gitu saja kok repot….
Bahkan, aroma ketidaktransparan penggunaan uang rakyat kian terang benderang. Kadang-kadang Dekopin sendiri, tidak pernah menyampaikan laporan pertanggung-jawaban keuangan. Anehnya, di antara pemimpin paripurna ada beberapa orang yang mengaku tidak tahu menahu penggunaan uang rakyat itu.
Sudah menjadi kewajiban pengurus untuk mempertanggungjawabkan ‘bantuan dari pemerintah’ itu. Tidak boleh ada dalih, karena aliran uang itu dari pemerintah, ya pertanggungjawabannya ke pemerintah saja. Kalau begitu, anggota itu dianggap sebagai apa? Sebagai nama pajangan untuk mendapatkan anggaran? Kalaupun akhirnya diputuskan untuk membuat laporan keuangan paling lambat tiga bulan, hingga sekarang belum ada kabar burungnya. Malah yang kabar yang kabur.
Tapi, tidak seharusnya karena ketiadaan LPJ Keuangan di Dekopin ini juga menjadi alasan pembenaran oleh gerakan koperasi lain untuk menciptakan dualisme kepemimpinan di Dekopin. mBaru-baru ini kita juga sempat terenyuh, saat tahu praktek yang tidak elok dan sama sekali baunya tidak sedap dan akan membusuk yang terjadi dalam wadah tunggal gerakan koperasi Indonesia.
Lagi-lagi soal penyimpangan uang. Kali ini tidak berhubungan dengan uang rakyat, tapi dengan negara lain. Celakanya, akibat praktek tidak terpuji ini, nama koperasi Indonesia pun ikut tercela. Kalau orang mungkin sudah masuk Daftar Orang Tercemar. Karena ini menyangkut lembaga, Daftar Praktek Tercela.
Tidak hanya itu, Dari bacaan dan data-data yang saya peroleh, banyak penyimpangan dalam proyek “memberdayakan’ koperasi dan UKM di tanah air. Para elitis koperasi tak ubahnya politisi yang jualan nasib koperasi dan usaha kecil untuk mendapatkan keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Bukan untuk memperbaiki koperasi, bukannnn…. Ah…itu sangat idealis dan tidak realistis.
Mungkin itulah nyanyian hidup mereka. Tapi lebih pada upaya untuk menebalkan kantong masing-masing. Makin tebal, makin ngetop. Pasalnya, untuk menduduki kursi nomor satu di wadah tunggal gerakan koperasi juga butuh modal besar, ya minimal modal untuk memberikan harapan harapan palsu…
Kecuali, menjadi ketua umum bisa dengan hanya modal dengkul dan integritas. Wah wah koperasi di Indonesia pasti maju… Lihatlah gaya hidup para politisi koperasi itu. Gimana merangkul yang kecil, gaya hidupnya saja jauh dari kesan merakyat. Orang luar yang melihat gaya para politisi koperasi ini pasti tersenyum sinis, karena nasib koperasi tidak sebening penampilan mereka. Maka Jadilah Koperasi itu sebagai Sebuah lembaga ekonomi rakyat yang tak merakyat. Wallahu ‘Aklam Bisshawab.
Sagoe Aceh Rayeuk Minggu, 14 Juni 2024
Editor: Ayahdidien