by M Rizal Fadillah*
MENJERAT LEHER ORMAS KEAGAMAAN DENGAN TAMBANG
TARIK tambang adalah permainan 17 Agustusan yang menarik. Penarik berjama’ah adu kuat. Ketika kalah biasanya terjatuh, dan penonton pun bersorak terhibur. Tambang juga menjadi alat penjerat kambing atau sapi untuk kemudian disembelih. Tali tambang dahulu digunakan sebagai alat hukum untuk menggantung pelaku kejahatan berat.
Kini tambang itu dipakai rezim Jokowi untuk menjerat leher ormas keagamaan. Hal ini terkait dengan rencana pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan. Menteri Ivestasi/BPKM Bahlil Lahadalia akan merevisi PP 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara. Alasan pemberian adalah balas jasa peran ormas keagamaan dalam perjuangan kemerdekaan.
Kelemahan ormas keagamaan dalam pengelolaan pertambangan katanya akan dibantu dengan mencarikan kontraktor dan investor sebagai mitra. Dengan agenda ini ormas keagamaan nampaknya akan ditempatkan seperti “owner” rasa “partner”. Investor dan kontraktor ‘expert’ justru menjadi penentu dan pengeruk keuntungan.
Lahan pertambangan yang akan diberikan kepada ormas keagamaan berasal dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut serta Penciutan Wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diperpanjang IUP nya.
Ide Bahlil dipuji sekaligus patut diwaspadai. Dipuji atas perhatian pada ormas keagamaan dan diwaspadai karena terlalu banyak jurang jebakannya.
Sekurangnya ada empat jurang jebakan (pitfall trap) yang dipasang bagi ormas keagamaan, yaitu :
Pertama, ormas keagamaan dikedepankan untuk berkompetisi dengan penambang ilegal yang justru dibeking oleh pejabat, anggota DPR ataupun aparat. Jumlah tambang ilegal cukup banyak. Dalam 10 tahun terakhir tidak kurang dari 2500 tambang ilegal di Indonesia.
Kedua, dominasi mafia bisnis pertambangan akan menyeret ormas keagamaan masuk ke ruang remang-remang bahkan gelap. Agama yang berbasis moral terpaksa berkompromi dengan “bisnis kotor”. Ormas keagamaan akan kehilangan sikap kritis sebagai gerakan da’wah.
Ketiga, lahan yang diberikan izin hanya bekas baik eks IUP yang dicabut maupun Penciutan Wilayah eks PKP2B yang akan diperpanjang, bukan lahan-lahan “gress” atau utama. Ormas keagamaan harus mengolah “sampah” yang sudah ditinggalkan oleh pemegang IUP terdahulu. Bayangan untung hanya dalam kalkulasi, sedangkan beban jauh lebih besar. Lahan-lahan tambang luas dan strategis sudah habis dirampok.
Keempat, sebagai “owner” akan jadi korban korupsi, manipulasi dan kolusi kontraktor dan investor. UU Minerba sendiri ternyata lebih ‘investor friendly’. Aktivis organisasi keagamaan akan memenuhi berita tentang OTT atau panggilan Kepolisian dan Kejaksaan. Pemegang IUP selalu terlibat dalam kerja mitra jahat. Nama baik organisasi keagamaan secara bertahap hancur.
Jurang jebakan (pitfall trap) pemberian IUP kepada yang bukan ahli menciptakan ketergantungan. Rezim penyandera akan memperoleh obyek penyanderaan baru, yaitu ormas keagamaan. Tinggal kualifikasi pilihan sandera apakah “rawat inap” atau “rawat jalan”. Amal usaha atau lembaga sosial garapan ormas keagamaan kelak akan terlilit tambang di lehernya.
Maka saat itu berlakulah pepatah :
“a small things can ruin big things” (karena nila setitik, maka rusak susu sebelanga).
Tambang dipastikan membelit dan membanting ormas keagamaan.
Selanjutnya terserah ormas keagamaan itu sendiri apakah masih memiliki mata hati dan cahaya Ilahi atau mata duitan dan terpaksa harus merangkak-rangkak di bawah kaki Jokowi ?
Niat baik Bahlil Lahadahila pun akan membuat ormas keagamaan menjadi bahlul dan tidak berwibawa.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 20 Mei 2024