Oleh : T.M. Jamil, Associate Profesor (Akademisi – Ilmuwan Sosial, USK, Banda Aceh.)
SAAT YANG PALING DITUNGGU ketika Lebaran adalah bertemu dan bersilaturahmi dengan sanak saudara di kampung halaman. Bertemu dengan keluarga yang telah lama berpisah adalah momen paling membahagiakan. Budaya “Woe U Gampong” (Pulang Kampung dalam Bahasa Aceh), merupakan juga salah bentuk pengikat ukkhwah sesama keluarga dan sahabat tercinta.
Itulah sebabnya pulang kampung atau mudik menjadi kegiatan “wajib” bagi sebagian besar warga Indonesia. Meski harus bersusah-susah, mudik tetap harus dilakukan. Ditambah lagi banyak sudah menundanya selama dua tahun ini akibat merebaknya pandemi.
Tahukah para pembaca, kapan mudik pertama kali dilakukan di Indonesia? Mudik atau pulang kampung sebenarnya sudah dikenal sejak lama.
Para ahli sejarah bahkan menyebut tradisi pulang kampung sudah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit. Saat itu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki dan mengharapkan ridhaNya.
Itulah sebabnya para ahli meyakini kata “mudik” berasal dari bahasa jawa ” mulih dilik” yang artinya pulang sejenak atau sebentar. Ada pula yang menyebut kata “mudik” terkait dengan kata “udik” yang berarti kampung halaman. Namun yang pasti mudik selalu diartikan sebagai pulang ke kampung halaman setelah sekian lama merantau dan meninggalkannya.
Mudik atau Pulkam bagi perantau, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, dari masa ke masa. Sungguh sebuah kebahagiaan jika itu bisa dilakukan sebagai bentuk rasa cinta dan ajang silaturrahmi dengan keluarga besar tercinta.
Jika yang dimaksud adalah pulang kampung atau mudik saat lebaran, para ahli mengatakan baru dikenal sekitar tahun 1970-an. Saat itu Jakarta dikenal sebagai satu-satunya kota besar tempat para pendatang mengadu nasib. Kemajuan yang ditunjukkan Jakarta menjadi megnet bagi ribuan warga daerah berdatangan ke ibu kota. Lebih dari 80 persen urbanisasi terjadi di Jakarta.
Mereka yang sudah bermukim dan berdomisili di Jakarta ternyata tidak melupakan tradisi mudik, terutama saat hari-hari besar seperti Idul Fitri. Semakin meningkatnya urbanisasi tidak menyurutkan keinginan pendatang untuk pulang kampung. Bukan hanya sebagai ajang ‘melepas rindu’ akan masa lalu, mudik juga menjadi momentum menunjukkan eksistensi dan kesuksesan selama mengadu nasib di perantauan.
Seiring dengan munculnya pusat-pusat perekonomian lokal, arus urbanisasi juga melanda kota besar lain, seperti Surabaya, Bandung, Medan, Banda Aceh dan sebagainya. Para urbanis di kota-kota besar tersebut ternyata tidak meninggalkan tradisi mudik meskipun lokasi kampung halaman mereka tidak terlalu jauh. Mudik pun berkembang menjadi sebuah fenomena.
Masyarakat memang tidak bisa meninggalkan tradisi mudik. Ada sesuatu yang terasa hilang jika tidak pulang kampung. Itulah sebabnya apa pun dilakukan demi bisa berkumpul dengan sanak kerabat untuk menjalin rasa ukhwah dan persaudaran sejati. Insya Allah membawa berkah. Aamiinn….(*)