Sriwijayatoday.com | Aceh Timur – Terpencil disudut Dusun CV7, Desa (Gampong) Mesjid, Kecamatan Nurussalam, berdiri sebuah rumah yang nyaris roboh. Rumah berdinding kayu yang telah lapuk dimakan usia, beratapkan seng tua yang bolong-bolong, dan berlantaikan tanah. Rumah yang tak layak huni itu menjadi satu-satunya tempat berteduh bagi Nyak Dah (42), seorang janda malang yang berjuang seorang diri demi dua anaknya, Muhammad Ilham (16) dan Muhammad Ikram (13), serta adiknya yang cacat, Amiruddin (35). Jumat 21 Maret 2025.
Nyak Dah kehilangan suaminya beberapa tahun lalu, meninggalkan beban berat yang harus ia pikul sendiri. Sejak saat itu, hidupnya berubah menjadi juang derita tak berujung. Setiap hari, ia bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan apa yang ada untuk anak-anaknya, lalu berangkat mencari nafkah sebagai penderes dengan upah yang jauh dari cukup. Uang yang ia dapat hanya sekadar untuk membeli beras, garam, dan sedikit lauk sekadarnya. Rumahnya tetap lapuk, bocor setiap hujan turun, dan dingin menusuk saat angin malam berembus.
Di dalam rumah kecil itu, Ilham dan Ikram sering terpaksa belajar di bawah temaram lampu minyak karena mereka tak mampu membayar listrik dengan lancar. Ilham, yang seharusnya menikmati masa remajanya dengan penuh semangat, kini lebih banyak termenung. Ia ingin membantu ibunya, tapi ia masih terlalu muda. Sementara Ikram, adik bungsunya, hanya bisa diam saat melihat ibunya menangis dalam gelap, menahan keluh yang tak berujung.
Yang lebih menyayat hati, di sudut rumah yang hampir roboh itu, Amiruddin duduk dalam diam. Sejak kecil, ia mengalami cacat yang membuatnya tak bisa bekerja. Ia hanya bisa menatap kakaknya, Nyak Dah, yang setiap hari berjuang mati-matian untuk mereka semua. Kadang, ia merasa bersalah, tapi apalah daya?
Di lingkar tambang Medco E&P Malaka, hanya sekitar 6-8 kilometer dari rumah mereka, kemewahan industri berdiri megah. Namun, di balik kejayaan itu, ada keluarga yang hidup dalam nestapa, tanpa uluran tangan, tanpa harapan yang nyata.
“Aku ingin anak-anakku punya rumah yang layak, agar mereka tidak lagi tidur dalam ketakutan kalau rumah ini rubuh. Aku tidak meminta banyak, hanya tempat berteduh yang lebih baik untuk mereka,” lirih Nyak Dah, sambil menyeka air mata yang jatuh di pipinya yang mulai keriput karena lelah.
Hatinya semakin pedih saat melihat anak-anaknya tidur berdesakan di atas tikar lusuh yang sudah robek. Tak ada kasur empuk, tak ada selimut hangat. Hanya doa yang ia panjatkan setiap malam, berharap ada tangan baik yang bersedia mengulurkan bantuan.
Kini, harapan Nyak Dah tertuju pada pemerintah daerah dan perusahaan Medco E&P Malaka. Ia tak meminta kemewahan, hanya secuil kepedulian agar anak-anaknya tidak lagi hidup dalam ketakutan akan atap yang roboh atau dinding yang runtuh.
“Mungkin hari ini kami masih bisa bertahan. Tapi sampai kapan? Aku hanya ingin anak-anakku punya tempat tinggal yang lebih layak. Itu saja,” katanya, dengan suara bergetar menahan pilu.
Sebuah rumah di ujung desa, di lingkar tambang yang kaya, menyimpan kisah getir seorang ibu yang berjuang di batas harapan. Akankah ada yang mendengar tangisannya?, Wallahu alam!
Editor: Ayahdidien















