“Prof. Dr. TM. Jamil, M.Si, Pengamat Politik, USK : Akademisi Kampus Itu, Kaya Ide dan Gagasan, Namun Minus Ruang Untuk Berkonstribusi”
BANDA ACEH | Sehubungan Dengan Diskusi (25/04/2024) Yang Bertajuk “Sosok Pemimpin Aceh Masa Depan” dan Mampu Menyelesaikan Problema Kemasyarakatan : Aryos Nivada, Akademisi USK, memberi catatan kritis : “Aceh di masa lalu slalu berhasil ketika dipimpin oleh akademisi, seperti di masa Alm. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA dan Alm. Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud.”
Berkaitan dengan itu, Reporter Media Ini menghubungi dan mencoba untuk Meminta Tanggapan dari Prof. Dr. TM. Jamil, Pengamat Politik dan Juga Akademisi USK, Banda Aceh. Pak TM, dalam tanggapannya menyebutkan, “Ya, bisa saja itu terjadi seperti disampaikan Bung Aryos, meski situasi dan kondisi masa lalu dan masa kini sudah berbeda secara sosiologis dan kultural masyarakat Aceh. Dulu Akademisi “dilamar” oleh politisi, kini Akademisi harus “melamar atau mendaftarkan diri” kepada Parpol, jika ingin menjadi calon kepala daerah. Nah, Sepanjang pengetahuan dan pemahaman saya masyarakat Aceh selalu patuh dan responsif kepada tokoh atau sosok pemimpin yang punya ide, gagasan dan tindakan nyata. Bukan pemberi harapan palsu. Karena bagi akademisi dan kaum intelektual, tiap tindakannya slalu didasarkan pada data, fakta dan realita, sehingga program, aksi dan permasalahan kemasyarakatan bisa diselesaikan dengan baik,” ungkap, Prof. TM. Jum’at, 26 April 2024.
Lanjutkan nya, “Masalahnya sekarang, masihkah ada pihak Partai Politik (Parpol) atau politisi yang melirik akademisi untuk diajak, diusung atau mendampingi mereka dalam memimpin dan membangun Aceh di masa depan?” Tanya Prof. TM, serius.
Karena menurutnya, saat ini lebih terkesan para politisi atau Parpol kurang memberi ruang atau respon untuk para akademisi agar bisa berkontribusi dalam Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah. Mereka lebih berfokus untuk mengorbitkan kadernya sendiri atau sesama kader antar parpol (membangun koalisi sempit) dibandingkan berkolaborasi dengan pihak akademisi yang kaya ide, gagasan, tapi mereka miskin ruang dan cara untuk bisa terlibat aktif. “Sebaiknya, memang harus bersama-sama dalam membangun Aceh ke depan, yaitu perpaduan antara politisi dan akademisi.” Saran, Prof. TM.
“Ya, Kembali lagi seperti di masa lalu, pihak parpol atau politisi yang “melamar” atau mengajak akademisi untuk bersama-sama mereka. Bukan malah berharap, akademisi yang “mendaftar” ke parpol. Jika begini harapan dari Bung Aryos Devada sulit untuk bisa terwujud,” ulang Pak TM menegaskan.
Meski begitu, Pak TM, sependapat bahwa akademisi acapkali lebih berhasil dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, jika mereka diberikan amanah, kesempatan dan kepercayaan. Tentu dengan segala kekurangannya itu akan dapat diminimalkan jika parpol atau politisi serius untuk berpikir kepada ummat.
“Ya, bagi saya pribadi tentu berharap, kerja kolaboratif antara politisi dan akademisi perlu dipikirkan dan dipertimbangkan dengan serius oleh berbagai pihak, terutama pihak Parpol lokal atau Parpol nasional. Namun, harapan itu tak terlalu mudah untuk diwujudkan jika komunikasi tak dibangun dengan baik, meski tak mustahil pula untuk bisa dilaksanakan dengan sungguh-sungguh jika semua pihak membuka mata hati. Karena jika Parpol membiarkan dan menutup ruang untuk pihak luar (terutama akademisi/ilmuwan atau ulama) untuk membangun Aceh, ke depan akan berdampak tak baik bagi pembangunan bangsa secara menyeluruh. Karena menurut saya, pemimpin itu perlu ilmu, bakat dan juga kaya pengalaman. Mengandalkan popularitas dari ketokohan internal acapkali berakhir gagal. Untuk itu, “mari kita tunggu saja sikap dari politisi dan parpol untuk merespon kondisi ini, dalam menyambut Pilkada Aceh 2024, semoga dapat berjalan dengan baik dan menghadirkan sebuah harapan menuju perubahan yang sesungguhnya,” tutup Prof. TM.(*)
Editor by Ayahdidien