SAATNYA “UNDANG-UNDANG PEMBUKTIAN TERBALIK” DIHADIRKAN, JIKA SEMUA SERIUS UNTUK MEMBERANTAS KORUPSI
Oleh :
TM. Jamil
Associate Profesor
Akademisi dan Ilmuwan Politik, pada Sekolah Pascasarjana, USK, Banda Aceh.
KETIKA tindak pidana korupsi menjadi musuh negara paling bahaya yang wajib diperangi dan diberantas, ironisnya koruptor justru malah makin subur berkembang biak dan menjamur. Buktinya sangat banyak koruptor yang berhasil dijaring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK begitu sering muncul dalam pemberitaan yang menanandakan bahwa korupsi masih digemari oleh sejumlah pejabat publik. Baik di lembaga eksekutif, legeslatif, dan bahkan sering terjadi juga di lembaga yudikatif yang seharusnya menjadi tempat yang bersih dan terbebas dari praktik korupsi.
Korupsi dan perilaku korup menjadi seperti penyakit menular yang bakteri maupun virusnya melekat di kursi-kursi para pejabat negara yang tengah berkuasa. Hampir di seluruh strata kehidupan yang berkaitan dengan masalah keharusan berinteraksinya masyarakat dengan institusi negara, perilaku korup dan praktik korupsi baik yang terbuka maupun yang tertutup sudah menjadi rahasia umum. Budaya setor kepada pejabat terkait dalam semua urusan perizinan usaha misalnya, sudah merupakan hukum wajib dan mutlak harus dilaksanakan oleh para pengusaha, baik di pusat maupun di daerah. Jatah ‘uang jajan’ dan sejumlah dana untuk para pejabat selalu dianggarkan.
Mengapa para pelaku korupsi tidak semua ditangkap atau tertangkap? Pasalnya perbuatan korupsi memang mudah dilakukan, tapi sangat sulit untuk dibuktikan. Apalagi ketika para oknum penegak hukum merupakan bagian dari tindak kejahatan luar biasa ini pula. Makanya, dihadirkanlah lembaga anti rusuah Komisi Pemberantasan Korupsi yang belakangan terkenal dengan Operasi Tangkap Tangan-nya. Yang terjaring sebatas mereka yang ceroboh, lengah, dan bernasib sial. Yang lain masih aman-aman saja. Hidup dalam pesta pora harta, tahta, cinta dan wanita.
Seperti terjadi pada peristiwa tertangkap tangannya para hakim, pengacara, dan para pejabat tinggi negara. Mereka tertangkap karena sial dan di hari apes mereka. Nah, bagaimana pula dengan yang tidak sampai tertangkap tangan? Ya korupsi dijalankan sebagaimana istilah, business as usual. Dengan kata lain, seseorang baru dinyatakan sebagai koruptor, hanya ketika ia tertangkap dengan bukti yang sangat kuat.
Seseorang, atau seorang oknum pejabat, sekalipun sehari-harinya adalah pelaku korupsi kelas kakap, tapi penegak hukum tak dapat membuktikan praktik korupsi yang ia lakukan, maka ia tetap menjadi warga negara terhormat dan sangat dihormati serta bahkan bisa jadi kelak akan dianugerahkan penghargaan sebagai ‘pahlawan bangsa’. Na’uzubillahi Min Zhalik.
Karena disamping pejabat, ia seorang yang gemar beramal juga disebabkan mereka banyak duit. Sementara yang terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, mereka langsung mati kutu, dan mereka ini dikategorikan sebagai para pelaku korupsi yang tertimpa apes. Pada hakekatnya tidak susah menandai seorang pejabat apa ia bersih atau seorang gembong korupsi. Telaah saja dengan cermat, misalnya tentang gaji pejabat tinggi sipil, katakanlah setaraf menteri, atau seorang berpangkat jenderal full dalam militer, berapa sih gaji mereka?
Dengan memiliki mobil lebih dari satu saja, dan rumah mentereng di kawasan elite, sudah perlu dipertanyakan dari mana ia dapat memiliki kemewahan semua itu. Tapi kenapa para penegak hukum di negeri ini juga masih tutup mata? Wallahu ‘Aklam… Berdagang atau kerja sebagai pengusaha, tak pernah ada dalam riwayat hidupnya. Lalu bagaimana ia bisa seakan-akan berpenghasilan 100 kali lipat dari aktual gaji yang diterimanya?
Jawabannya sederhana sekali, kalau bukan dari warisan orang tua atau nenek moyangnya, ya apa lagi kalau bukan dari hasil korupsi uang negara ini. Kok tak ditangkap? Karena tak ada bukti cukup. Kalaupun pernah terserempet ‘apes’, disewanya pengacara pembela para koruptor dengan bayaran sangat ‘wah’ untuk membersihkan segala dosa lewat segala dalih atau celah kelemahan hukum yang ada untuk membebaskannya dari musibah ‘apes’ yang telah menimpanya.
Hanya Tuhan dan kemungkinan besar istri atau suami sang pejabat yang mengetahui perbuatan kotor, atau kejahatan luar biasa yang pernah dilakukannya ini. Lalu mengapa Undang-Undang pembuktian terbalik selalu tak tersentuh untuk dihadirkan? Seperti tidak ada keinginan sama sekali untuk menuju ke arah itu. Semoga yang berwenang dan sedang berkuasa dapat merenung, berpikir dan menjawabnya.
Salah satu sebabnya bisa jadi seperti yang disimpulkan secara seloroh, manalah mungkin seorang maling membangun penjara untuk dirinya sendiri? Dengan mengatakan ini bukan berarti hingga sekarang pun, kepala pemerintahan yang di komandoi Jokowi, sami mawon. Paling tidak presiden kita yang satu ini memang telah teruji dan pantas berpredikat bersih selama belum terbukti sebaliknya. Bagaimana pula dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya di negeri ini? Hanya masalahnya melakukan pembiaran merupakan hal yang dalam hukum bisa dinyatakan juga sebagai fihak yang terkait. Oleh karena itu, berbagai praktik di lembaga-lembaga negara dan pemerintahan, terkhusus di wilayah kerja BUMN, menurut saya pribadi, perlu perhatian dan penanganan khusus Pak Presiden berkaitan dengan upaya membangun citra ‘Jokowi Zero Corruption Leader’.
Untuk itu, sejumlah perusahaan negara yang baunya sudah lama tercium sebagai tempat dimana kolusi, korupsi, dan praktik nepotisme nyata terjadi, jangan malah ditutup-tutupi. Sekalipun, kalau toh ada, rekan kerja terdekat yang menjadi pengaman dan backing utamanya. Masalahnya, bersih di lingkungan kerja istana, bukan berarti bersih yang genuine. Kembali pada masalah, melakukan korupsi itu mudah, tapi untuk menangkap dan membuktikannya, sangat dan teramat sulit. Apa lagi bila ada raksasa politik yang melindunginya sehingga aparat penegak hukum pun tak cukup nyali untuk kibarkan bendera menyatakan perang.
Akhirnya, yang empuk-empuk dan bebas hambatan saja yang digempur oleh KPK. Bayangkan saja, sudah ratusan lebih Kepala Daerah (Bupati, Wali Kota, dan Gubernur), bahkan menteri yang sempat terjaring dan meringkuk di rumah tahanan KPK. Begitu juga pejabat tinggi yang tak punya backing. Merekalah sasaran utama operasi berantas korupsi selama ini. Sementara yang punya uang dan backing kuat, tetap santai menjalankan amanat korupsi sebagai ‘business as usual’!
Nah, mengapa banyak kepala daerah dan politisi yang melakukan korupsi? Karena itulah yang ‘harus’ mereka lakukan untuk membayar balik ongkos dirinya mencapai posisi sebagai Kepala Daerah atau anggota DPR-D. Sistem politik mengamanatkan hal ini sebagai lagu wajib seorang politisi yang mau menduduki kursi jabatan tinggi. Semakin tinggi levelnya, maka semakin mahal ongkos politiknya.
Memberantas perilaku korupsi ini, ya perlu juga mengganti sistem politik yang menyuburkannya! Atau agar KPK tak terlalu diperlukan lagi, hadirkan saja Undang-undang Pembuktian Terbalik. Sehingga yang repot dan disibukkan bukan lagi institusi penegak hukum, tapi para koruptor untuk membuktikan dari mana kekayaan A,B,C,D, mereka dapat?! Bila tidak, ya sandiwara tangkap menangkap ‘ikan teri’ ini akan menjadi kian seru. Yang terjaring bakal sedikit kakapnya, dan makin banyak terinya Dan itu sangat ramai, juga berisik serta “tikus besar” masih tetap saja berkeliaran di sekitar kita.
Banda Aceh, 20 Juli 2024
Editor: Ayahdidien