by M Rizal Fadillah*
Kesembronoan Pemerintah Indonesia yang berdalih demi investasi atau pengembangan wisata adalah kebijakan second home visa melalui Surat Edaran (SE) Dirjen Imigrasi No. IMI-0740. GR. 01.01 tahun 2022 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Rumah Kedua tanggal 25 Oktober 2022.
Meski kamuflase untuk destinasi wisata Bali tetapi dengan kalimat “dan destinasi lainnya” membuka pintu WNA untuk dapat datang di seluruh Indonesia. Orang asing dan eks WNI dapat izin menetap selama 5 atau 10 tahun dalam rangka berinvestasi “dan kegiatan lainnya”.
Alasan Dirjen Imigrasi bahwa dengan Surat Edaran ini kelak dapat membuka lapangan kerja adalah pembelokan substansi ke arah manipulasi. Orang Asing atau WNA yang datang berinvestasi adalah para tuan-tuan, pemilik modal atau kaum majikan. Lapangan kerja bagi pribumi mungkin hanya menjadi sopir, tukang kebun, cleaning service atau penjaga keamanan.
Sadar atau tidak bahwa hal ini akan menjadi jalan bagi pembentukan komunitas budak pada kaum pribumi. Penjajahan asing atas penduduk bumiputera.
Siapa yang tertarik oleh kekuatan magnetik Surat Edaran ini ? Warga Negara Amerika tentu kecil kemungkinannya, jikapun ada tidak banyak. Begitu juga dengan negara-negara Eropa. Negeri mereka jauh lebih makmur karenanya buat apa menetap 10 tahun di Indonesia. Indonesia bukan “second home” bagi mereka.
Jepang, Korea, Arab ? Tidak juga. Yang memungkinkan sangat tertarik adalah Republik Rakyat China. Etnis China sangat banyak di Indonesia. Dan bagi Warga Negara RRC Indonesia adalah “second home” yang nyaman dan menjanjikan. Lahan migrasi atau diaspora dari 1,5 milyar penduduk China.
Tiga bahaya Surat Edaran Dirjen Imigrasi sebagai magnet WNA China, yaitu :
Pertama, 10 tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan “invasi” atau “infiltrasi” budaya, ekonomi dan politik dalam rangka penguatan dan dominasi etnis China di Indonesia. Isu investasi dan destinasi menjadi gerbang “karpet merah” untuk “konsolidasi” dan “aneksasi”.
Kedua, mempersilahkan menjadi “second home” sama saja dengan melegalisasi keinginan RRC untuk ekspansi dalam rangka hegemoni. Hubungan erat Indonesia dengan RRC selama ini menjadi semakin kuat dengan Surat Edaran. TKA China yang sudah membanjir dapat meningkat menjadi air bah. Tidak tegas dan jelas kontrol kedatangan.
Ketiga, WNI etnis China yang diperkirakan jumlahnya besar akan bahagia dengan kebijakan “second home visa” ini. Terbuka untuk membantu kehadiran “saudara-saudaranya” yang “berwisata” 10 tahun di Indonesia. Dengan bantuannya akan mepersulit Pemerintah Indonesia dalam mendeportasi dan menangkal WNA China yang kelak melebihi 10 tahun menetap.
Surat Edaran ini jelas-jelas melanggar hukum karena mengatur keputusan strategis yang berdampak besar. Surat Edaran semestinya hanya untuk kebijakan internal. Ini bukan bagian dari peraturan perundang-undangan. Mengatur “second home visa” seharusnya dalam bentuk Undang-Undang atau setingkat Undang-Undang. Perlu keterlibatan rakyat.
Pemerintah Jokowi seharusnya memiliki “awareness” dan “alertness” tinggi tentang bahaya asing khususnya RRC atas bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia merasa khawatir dengan peningkatan jumlah etnis China dan penguasaan berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan baik sosial ekonomi maupun politik.
Surat Edaran tentang “second home visa” adalah bahaya. Karenanya harus ditolak keras. Dalam kaitan keamanan, maka second home visa yang lebih menarik bagi WNA China ini telah masuk dalam kategori Ancaman Tantangan Hambatan dan Gangguan (ATHG).
Keberadaan WNA China bukan semata urusan imigrasi tetapi TNI, Kepolisian dan DPR/MPR. Rakyat pun tidak boleh diabaikan keikutsertaan dalam pengaturan dan pengawasannya. Second home visa adalah kebijakan berbahaya yang harus ditolak.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 2 Nopember 2022