by M Rizal Fadillah*
OPINI – Bahwa Pemilu 2024 mengakhiri jabatan Jokowi sebagai Presiden Indonesia ketujuh sudahlah pasti. Semakin sempit saja celah untuk memperpanjang periode walaupun sekedar tahun. Berbagai upaya yang dilakukan untuk itu menghadapi benturan keras. Rakyat sudah tidak menghendaki Presiden yang tidak berprestasi bahkan merusak negeri.
Tetapi keruntuhan tidak mesti dari periodisasi normal. Bisa bergerak dan berkulminasi sebelum akhir masa jabatan. Tanda-tanda itu ada. Jokowi juga menyadari karenanya sudah sejak dini ia dan istri mengangkut barang pribadi dan memindahkan dari Istana ke kampung halaman di Surakarta. Iapun tengah mencari pengaman jika kelak tidak lagi berkuasa.
Awal memegang Ganjar namun figur ini rapuh. Partainya sendiri tidak mendukung.
Kini mencoba Prabowo akan tetapi nampaknya Prabowo pun tidak terlalu kokoh. Dukungan rakyat sudah sangat merosot. Prabowo kemarin berbeda dengan sekarang. Rakyat sudah mampu membaca karakter dan mental kepemimpinannya yang sulit dipegang dan dipercaya.
Konflik internal kabinet menjadi indikasi pembusukan menuju keruntuhan. Kasus dugaan TPPU 349 trilyun di Kemenkeu yang diangkat Menkopolhukam Mahfud MD dapat menjadi pemantik. Serangan Mahfud MD kepada Sri Mulyani “benteng” jokowi menjadi bola salju dari kekacauan pemerintahan. Ancaman pidana anggota DPR Arteria Dahlan soal pembocor yang diarahkan pada Mahfud MD adalah bentuk dari kebodohan.
DPR yang semestinya merespons konstruktif pengungkapan skandal 349 Trilyun itu ternyata menjadi pelindung bahkan penuduh. Internal DPR akan saling menggigit karena terbelah. Adanya perlindungan menandakan bahwa DPR juga terlibat dalam skandal. Mungkin beberapa oknum anggota DPR ikut makan uang cuci-cuci tersebut. 349 Trilyun menjadi kotak pandora.
Mahfud MD maju terus atau mundur sama saja karena kotak mulai terbuka. PPATK memastikan itu sebagai pencucian uang. Apalagi jika DPR akhirnya terpaksa menggunakan hak angket dengan membentuk Pansus maka borok disana-sini akan terbongkar. Sri Mulyani bakal babak belur. Tidak ada lagi operasi penyelamatan sebagaimana dahulu dalam kasus Bank Century. Pilihan Sri Mulyani hanya dua yaitu mundur atau penjara.
Kasus demi kasus terus mendera rezim Jokowi dari kasus pelanggaran hak asasi, korupsi hingga hukum yang dimanipulasi. Pemuliaan demokrasi hanya slogan yang prakteknya adalah otokrasi atau oligarki. Bahkan bernuansa monarki. Jokowi sendiri memerintah seperti seorang raja. Dilingkari kroni yang hanya berfikir investasi atau keuntungan materi. Khas para pengikut Machiavelli.
Di tengah pencarian pemimpin baru yang mampu mengubah keadaan, bacaan pada diri Jokowi terus memburuk. Kasus 349 Trilyun menambah keriput dan kerut wajahnya. Hari keruntuhan Jokowi nampaknya sudah mulai. Kasus Sambo yang berlanjut ke Trisambodo telah mengguncang istana Widodo. Istana yang diisi para genderuwo.
Jokowi itu banyak musuh yang hari demi hari terus menggerogoti kekuasaannya. Kekuasaan dengan kebijakan yang tidak populis dan oligarkis. Musuh itu datang dari luar atau lingkaran dalam sendiri.
UU Cipta Kerja dan banjir TKA China adalah musuh buruh yang terus menggelorakan perlawanan. Isu radikalisme, intoleransi, moderasi hingga larangan berbuka bersama adalah musuh umat Islam yang membuat umat antipati pada Jokowi. Pengakuan kesalahan pada peristiwa G 30 S PKI adalah musuh TNI yang menambah tuduhan bahwa Jokowi itu pro PKI. Ditambah lagi dengan kecemburuan atas perhatian lebih pada institusi Kepolisian ketimbang TNI.
Mulai merata rasa bahwa negeri ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Keluhan dan keprihatinan terus bermunculan. Pemimpin yang dinilai gagal. Mungkin ke depan akan ada mosi tiidak percaya rakyat bahkan bisa saja masif desakan untuk pemakzulan.
Hari keruntuhan Jokowi nampaknya sudah mulai. Teringat peristiwa Revolusi Perancis ketika sang raja terlambat menyadari lalu melarikan diri. Namun gagal dan harus kembali ke ibukota. Bukan untuk berkuasa lagi tetapi Louis XVI dan Marie Antoinette “madame deficit” Itu harus menghadapi pengadilan rakyat dan mengakhiri semua kekuasaannya di bawah kilatan guillotine.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 27 Maret 20239