Bekasi, Sriwijaya Today — Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi Tahun Anggaran 2024 mengungkap adanya dugaan penyimpangan dalam pengelolaan belanja bantuan sosial (bansos) pada dua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Sosial (Dinsos).
Pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa pengelolaan bantuan sosial di dua instansi tersebut tidak memadai, baik dari sisi perencanaan, verifikasi data, maupun pelaksanaan. Dugaan penyimpangan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp30,68 juta karena bantuan diberikan kepada pihak yang tidak berhak.
Pada Tahun Anggaran 2024, Pemerintah Kabupaten Bekasi menerima Bantuan Keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dialokasikan untuk bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat terdampak aktivitas Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Dana yang diterima mencapai Rp5,08 miliar, disalurkan melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Sesuai Keputusan Bupati Bekasi Nomor HK.02.02/Kep.696-DLH/2024 tanggal 5 Desember 2024, setiap Kepala Keluarga (KK) di RW 05, RW 06, dan RW 07 Desa Taman Rahayu Kecamatan Setu menerima bantuan sebesar Rp2.598.480 per tahun. Bantuan disalurkan melalui transfer rekening pada bulan Desember 2024.
Namun, BPK menemukan ketidaktepatan data penerima. Berdasarkan pemadanan dengan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), ditemukan 10 penerima yang telah pindah domisili keluar dari wilayah penerima manfaat serta satu penerima yang telah meninggal dunia sebelum penetapan SK Bupati.
Nilai bantuan yang salah sasaran mencapai Rp28,58 juta. Lebih lanjut, DLH diketahui menggunakan data penerima tahun sebelumnya tanpa melakukan verifikasi lapangan maupun pemadanan dengan data kependudukan terbaru.
Proses validasi hanya dilakukan berdasarkan usulan RT dan RW, yang kemudian dibahas melalui Musyawarah Desa dan Kecamatan pada tahun 2023.
Verifikasi lanjutan yang dilakukan pada November 2024 hanya mencakup pemeriksaan KTP, KK, dan rekening bank, tanpa melibatkan Disdukcapil maupun kunjungan lapangan.
BPK menilai proses ini melanggar prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 10 Ayat (1), yang mewajibkan Kepala SKPD mengawasi pelaksanaan anggaran di unit kerjanya.
Permasalahan serupa juga ditemukan pada program Bantuan Sosial bagi Keluarga Miskin Ekstrem yang dikelola Dinas Sosial Kabupaten Bekasi.
Program ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Pemkab Bekasi menetapkan daftar penerima melalui Keputusan Bupati Nomor HK.02.02/Kep.293-Dinsos/2024 tanggal 13 Mei 2024 dan perubahannya pada 15 November 2024.
Setiap keluarga miskin ekstrem berhak menerima Rp1,5 juta pada bulan Juni dan Rp600 ribu pada bulan Desember, dengan total bantuan Rp2,1 juta per penerima.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menemukan sejumlah permasalahan serius. Lima penerima memiliki NIK tidak valid, kurang atau lebih dari 16 digit.
Satu penerima telah pindah domisili dan tidak memenuhi kriteria miskin ekstrem karena penghasilan keluarga mencapai Rp3 juta per bulan.
Enam penerima memiliki Nomor Kartu Keluarga yang tidak sesuai dengan data kependudukan.
Satu penerima salah teridentifikasi meninggal dunia, padahal data yang digunakan adalah milik suami almarhum.
Selain itu, dua penerima tercatat berusia tidak wajar, yakni 15 dan 14 tahun, di mana salah satunya masih memiliki orang tua yang seharusnya menjadi penerima.
BPK menyebut kondisi tersebut sebagai indikasi lemahnya sistem verifikasi dan validasi data di lingkungan Dinas Sosial.
Proses pemutakhiran data penerima bantuan belum dilakukan secara menyeluruh, dan koordinasi dengan Disdukcapil serta Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) di lapangan masih minim.
Kesalahan data tersebut menyebabkan dana bantuan senilai Rp2,1 juta diberikan kepada penerima yang tidak memenuhi kriteria, sehingga total dana yang tidak tepat sasaran dari dua kegiatan bansos mencapai Rp30,68 juta.
BPK menilai terdapat tiga penyebab utama terjadinya penyimpangan, yakni kurangnya pengawasan dari Kepala DLH dan Kepala Dinas Sosial selaku Pengguna Anggaran (PA), ketidakcermatan tim teknis dalam melakukan verifikasi data penerima, serta minimnya koordinasi antara SKPD terkait, khususnya dengan Disdukcapil dalam memvalidasi data kependudukan.
Kedua Kepala Dinas menyatakan sependapat dengan temuan BPK dan berkomitmen untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan dalam waktu 60 hari sejak LHP diterima.
Meskipun BPK belum menyimpulkan adanya unsur pidana, hasil pemeriksaan ini mengindikasikan potensi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dana bantuan yang disalurkan kepada penerima yang tidak berhak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara.
Jika terbukti ada pejabat atau pihak terkait yang mengetahui ketidaksesuaian data namun tetap mencairkan dana, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, BPK menilai lemahnya pengawasan internal dapat membuka peluang terjadinya praktik “titip nama” atau “bagi rata” oleh oknum aparat desa atau petugas teknis, di mana penerima bantuan fiktif didaftarkan untuk memperoleh dana yang kemudian dibagi di luar mekanisme resmi.
Dalam rekomendasinya, BPK meminta Bupati Bekasi untuk segera menginstruksikan Kepala DLH agar meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan memerintahkan tim teknis berkoordinasi dengan Disdukcapil untuk verifikasi data penerima. Sementara itu, Kepala Dinas Sosial diminta memperkuat sistem pengawasan dan verifikasi data penerima serta melibatkan aparat desa dan pekerja sosial masyarakat dalam validasi lapangan.
Pemerintah Kabupaten Bekasi juga diminta memastikan pengembalian dana yang tidak tepat sasaran ke kas daerah serta melakukan evaluasi terhadap pejabat terkait yang lalai dalam pengawasan.
Bupati Bekasi, melalui rencana aksi pemerintah daerah, berkomitmen untuk menyelesaikan tindak lanjut dalam waktu 60 hari kerja sejak diterimanya laporan hasil pemeriksaan.
Kasus ini menunjukkan bahwa lemahnya sistem verifikasi dan koordinasi antar instansi dalam pengelolaan bantuan sosial dapat berujung pada penyimpangan penggunaan dana publik.
Transparansi, akuntabilitas, dan integritas aparatur menjadi kunci untuk memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar diterima oleh masyarakat yang berhak, bukan diselewengkan oleh sistem yang lemah atau oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
(Harno Pangestoe)
Editor: RedaksiSumber: https://sriwijayatoday.com












