Bekasi Jawa Barat, Sriwijaya Today – Hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bekasi tahun anggaran 2024 kembali menyoroti pengelolaan keuangan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Bhagasasi yang dinilai belum optimal dan sarat permasalahan mendasar.
BUMD terbesar milik Pemkab Bekasi ini mengelola penyertaan modal hingga Rp628,85 miliar dari total investasi permanen daerah senilai Rp842,21 miliar, namun kinerjanya justru memperlihatkan lemahnya pengelolaan dan potensi penyimpangan administratif maupun keuangan.
Dalam neraca keuangan Pemkab Bekasi per 31 Desember 2024 (audited), penyertaan modal kepada Tirta Bhagasasi mendominasi hingga lebih dari 74% dari total investasi BUMD.
Perusahaan air minum ini didirikan sejak 1981 dan sejak 2002 dikelola bersama Pemkab dan Pemkot Bekasi dengan porsi kepemilikan masing-masing 55% dan 45%.
Namun, sejak adanya kesepakatan pengakhiran kerja sama pada 2015, muncul berbagai konsekuensi administratif dan finansial, termasuk penyerahan 8 wilayah layanan kepada Pemkot Bekasi dengan kompensasi Rp155,34 miliar.
Penyerahan ini dilakukan bertahap hingga 2026 karena alasan beban usaha, tetapi ironisnya, wilayah-wilayah yang diserahkan justru merupakan unit dengan efisiensi tinggi dan tingkat keuntungan besar.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait perencanaan bisnis Tirta Bhagasasi dan efektivitas pengawasan Pemkab Bekasi sebagai pemilik penuh pasca terbitnya Perda Nomor 6 Tahun 2023.
Temuan paling mencolok adalah tidak terbentuknya dana cadangan pada tahun 2023 dan 2024, padahal sebelumnya dana tersebut sudah rutin dibentuk sesuai ketentuan.
Padahal, PP Nomor 54 Tahun 2017 dan Perda Nomor 6 Tahun 2023 menegaskan kewajiban BUMD untuk membentuk dana cadangan minimal 20% dari modal disetor sebagai buffer menghadapi risiko usaha.
Berdasarkan data audit, sejak 2017 hingga 2022 Tirta Bhagasasi memiliki dana cadangan antara Rp45 miliar hingga Rp61 miliar. Namun, pada tahun 2023 dan 2024 dana cadangan nol rupiah, sementara modal disetor meningkat menjadi Rp532,86 miliar.
Kabag Keuangan Tirta Bhagasasi berdalih bahwa dana cadangan telah “dikapitalisasi menjadi modal disetor” berdasarkan Perda 6/2023 — tanpa ada penetapan resmi dari Kuasa Pemilik Modal (KPM) dan tanpa analisis investasi yang diwajibkan oleh PP 54/2017 Pasal 23 Ayat (2).
“Ini jelas bentuk kelalaian dan dugaan pelanggaran administratif berat. Kapitalisasi dana cadangan tanpa izin KPM berpotensi melanggar prinsip akuntabilitas keuangan daerah,” ujar Hitler Situmorang, Ketua Umum LSM Rakyat Indonesia Berdaya (RIB), menanggapi hasil audit tersebut. Jumat, (7/11/2025)
Audit juga menunjukkan bahwa saldo kas dan setara kas jauh lebih kecil dibanding nilai dana cadangan, bahkan pada tahun-tahun perusahaan memperoleh laba.
Sebagai contoh, pada 2019 dana cadangan mencapai Rp61,9 miliar, tetapi saldo kas hanya Rp17,6 miliar; pada 2022, kas Rp34,2 miliar sementara dana cadangan Rp61,9 miliar.
Hal ini mengindikasikan bahwa dana cadangan telah dipergunakan untuk keperluan lain, bukan untuk menutup kerugian usaha sebagaimana diatur oleh PP 54/2017 Pasal 101 Ayat (4).
Artinya, terdapat potensi penyalahgunaan dana internal yang seharusnya dijaga sebagai cadangan perusahaan.
Perumda Tirta Bhagasasi tercatat memiliki utang dividen kepada Pemkab Bekasi sebesar Rp33,09 miliar dan kepada Pemkot Bekasi Rp23,07 miliar, total mencapai Rp56,16 miliar per akhir 2024.
Namun saldo kas hanya Rp22,71 miliar, yang berarti utang dividen tidak didukung oleh ketersediaan kas dan bahkan belum seluruhnya tercermin dalam neraca perusahaan.
“Kalau kasnya tidak cukup tapi dividen sudah dicatat, berarti ada potensi window dressing atau manipulasi pelaporan keuangan. Ini bisa jadi pintu masuk KPK,” tambah Hitler.
Laporan keuangan Tirta Bhagasasi juga mencatat pembayaran honor insentif kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi dan Sekda Kota Bekasi dengan nilai Rp520 juta (2023) dan Rp200 juta (2024).
Padahal menurut PP Nomor 54 Tahun 2017, Sekretaris Daerah tidak termasuk organ struktur PDAM yang berhak menerima honor atau insentif.
“Honor untuk Sekda ini menabrak aturan. Itu bentuk penyalahgunaan jabatan dan melanggar prinsip good governance. Kami menilai ada potensi gratifikasi yang harus diusut,” tegas Hitler Situmorang.
Selain honor pembina, perusahaan juga diketahui mengeluarkan bonus dan tantiem senilai Rp3,69 miliar pada tahun 2024 — terdiri dari tantiem Rp1,15 miliar dan bonus akhir tahun Rp2,54 miliar.
Ironisnya, pembagian bonus ini tidak didasarkan pada perhitungan laba bersih setelah pembentukan dana cadangan, sebagaimana diatur dalam PP 54/2017 dan Perda 6/2023.
Bahkan, pada tahun 2017, selisih kelebihan tantiem mencapai Rp5,24 miliar dari batas maksimal yang diizinkan.
Artinya, kebijakan pembagian keuntungan di Tirta Bhagasasi dilakukan tanpa dasar hukum dan melanggar batas kewajaran remunerasi.
“Mereka bagi-bagi bonus saat dana cadangan tidak ada dan dividen belum dibayar. Ini bukan sekadar salah kelola, tapi tanda penyimpangan moral dalam manajemen publik,” kata Hitler.
Serta Penyerahan Aset Tanpa Inventarisasi Risiko Aset Daerah Hilang,Permasalahan lain muncul dalam proses penyerahan delapan wilayah layanan kepada Pemkot Bekasi.
Ditemukan bahwa data aset yang diserahkan belum melalui inventarisasi menyeluruh, melainkan hanya diinput secara administratif melalui sistem BMD (Barang Milik Daerah).
Kondisi ini menimbulkan potensi hilangnya aset daerah, sebab tidak ada pencocokan fisik maupun penilaian ulang nilai aset sesuai ketentuan Permendagri Nomor 108 Tahun 2016.
“Penyerahan aset tanpa inventarisasi bisa membuka ruang korupsi aset. Pemkab Bekasi harus bertanggung jawab, karena ini menyangkut harta publik,” tegas Hitler.
Hingga pertengahan 2025, laporan keuangan Perumda Tirta Bhagasasi masih dalam proses audit Kantor Akuntan Publik (KAP).
Hal ini semakin menegaskan lemahnya transparansi dan akuntabilitas, padahal perusahaan daerah seharusnya menjadi contoh tata kelola publik yang bersih dan tepat waktu.
Mencermati berbagai kejanggalan tersebut, LSM Rakyat Indonesia Berdaya menyatakan akan melaporkan dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan Tirta Bhagasasi ke KPK dan Aparat Penegak Hukum (APH).
Laporan akan mencakup dugaan:
Penyalahgunaan dana cadangan;
Pembagian bonus dan tantiem tanpa dasar hukum;
Pemberian honor tidak sah kepada pejabat publik;
Manipulasi neraca dan utang dividen;
Serta potensi hilangnya aset daerah tanpa inventarisasi.
“KPK harus turun tangan. Ini bukan sekadar salah administrasi, tapi potensi korupsi terstruktur di tubuh BUMD air minum Bekasi,” pungkas Hitler Situmorang
Kasus Tirta Bhagasasi menjadi cermin lemahnya pengawasan BUMD di tingkat daerah.
Dengan penyertaan modal ratusan miliar, seharusnya perusahaan ini menjadi motor pelayanan publik , bukan ladang penyimpangan keuangan.
Masyarakat kini menanti langkah tegas Pemkab Bekasi dan aparat hukum untuk mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan keuangan, korupsi terselubung, dan pelanggaran tata kelola di Perumda Tirta Bhagasasi.
(Harno Pangestoe)
Editor: RedaksiSumber: https://sriwijayatoday.com










