Hilmi*
Sriwijayatoday.com | Banda Aceh – BPBA Catat Ada Lima Bencana di Aceh yang Terjadi di Atas 50 kali di Aceh selama 2020. Peringkat pertama kebakaran pemukiman 289 kali; kebakaran hutan dan lahan terjadi 205 kali; angin puting beliung 100 kali terjadi, banjir 95 kali, dan longsor 57 kali.
Selain kelima bencana di atas, tercatat gempa bumi berkekuatan sekitaran 5,0-5,3 Skala Richter sebanyak 21 kali kejadian di Aceh; banjir dan longsor terjadi 13 kali; abrasi 12 kali, banjir bandang 5 kali, banjir rob 2 kali, kekeringan 2 kali, dan gelombang pasang 1 kali.
bencana yang terjadi di tahun 2020 ini tak serta merta hilang. Rentetan bencana alam yang datang silih berganti seperti banjir di Aceh Utara, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung serta tanah longsor yang terjadi di Aceh Besar, hingga BPBA mencatat 44 kali kejadian bencana di Aceh sepanjang bulan Januari 2021, dan yang paling dominan bencana banjir,” kata Kepala Pelaksana BPBA Ilyas dalam keterangan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) di Banda Aceh. tentu meninggalkan duka yang dalam.
Dari banyaknya bencana yang terjadi tak sedikit yang menjadi korban. Selain hilangnya nyawa, kerugian sarana dan prasana juga amat besar sehingga butuh biaya yang tak sedikit untuk rekonstruksi dan rehabilitasi fasilitas yang terdampak bencana.
Dalam siaran pers yang diterima sriwijayatoday.com, selasa (15,6,2021), Hilmi mengatakan perlu langkah khusus agar masyarakat bisa mengurangi dampak dari sebuah peristiwa bencana yaitu dengan membangun masyarakat yang sadar akan bencana, mengapa demikian?
Secara historis & geografis wilayah Indonesia adalah wilayah yang memang rawan bencana
Sudah menjadi rahasia umum bahwa negeri kita ini adalah negeri yang ‘kaya’ bencana bahkan sejak nenek moyang kita bermukim di Kepulauan Nusantara sudah banyak bencana yang terjadi. Gempa bumi, gunung meletus, banjir, tsunami hingga tanah longsor pernah menghinggapi,” Kata Hilmi
Bahkan, tak jarang bencana tersebut menghancurkan suatu peradaban, semisal bencana letusan Gunung Merapi yang memaksa Kerajaan Mataram Kuno untuk memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada masa pemerintahan Empu Sendok. Belum lagi letusan Gunung Krakatau dan Gunung Tambora yang letusannya menggema hampir di seluruh penjuru dunia.
Letak geografis Indonesia yang merupakan pertemuan tiga lempeng besar dunia yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik membuat gempa bumi hampir setiap saat selalu terjadi baik dari yang ber-magnitudo rendah maupun tinggi.
Selain itu, Indonesia juga dilalui oleh dua jalur pegunungan besar dunia yaitu Pegunungan Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania sehingga banyak sekali gunung api aktif yang ada di negara kita. Dengan resiko bencana yang sedemikian besar sudah sepatutnya pemahaman tentang bencana harus lebih dikembangkan,” Ujar Hilmi
Manusia memang tak pernah bisa lepas dari bencana, akan tetapi manusia bisa meminimalisir dampak dari suatu bencana, biasanya datang secara tak terduga dan sejatinya manusia memang tak pernah bisa lepas dari bencana. Akan tetapi manusia bisa berusaha untuk meminimalisir dampak dari suatu bencana sehingga kerugian akibat bencana bisa ditekan seminimal mungkin, baik kerugian nyawa maupun kerugian harta benda.
Dalam pengurangan resiko bencana perlu dilakukan berbagai upaya, baik yang dilakukan sebelum bencana (Pra Bencana), saat bencana (Tanggap Darurat), dan setelah bencana (Pasca Bencana). Namun, untuk mengurangi resiko bencana penanggulangan bencana lebih ditekankan pada upaya-upaya pada saat sebelum terjadinya bencana.
Apakah di Indonesia demikian? Dalam pelaksanaannya penanganan bencana di Indonesia lebih condong ditekankan ke arah tanggap darurat dan pasca bencana, daripada peningkatan kemampuan responsif masyarakat sehingga jika kembali terjadi bencana di masa mendatang maka siklus yang sama akan berulang dan ketidaksiap siagaan masyarakat menambah daftar panjang masalah yang datang.
Masyarakat adalah subjek dan objek dari sebuah peristiwa bencana
Masyarakat bisa dikatakan sebagai objek bencana karena masyarakat adalah korban dari sebuah peristiwa bencana dan pihak pertama yang langsung berhadapan dengan bencana. Oleh karena itu, kesiapan masyarakat menentukan besar kecilnya dampak dari sebuah bencana yang terjadi di masyarakat itu sendiri.
Sementara itu, masyarakat bisa juga dikatakan sebagai subjek bencana karena masyarakat yang terkena bencana merupakan pelaku aktif untuk membangun kembali kehidupannya. Meskipun terkena bencana, masyarakat masih mempunyai kemampuan untuk ikut serta dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak bencana serta yang tak kalah penting, masyarakat harus meningkatan kemampuan diri untuk menghadapi kerentanan akibat bencana yang sewaktu-waktu bisa datang kembali.
Hilmi menekankan kita harus bersatu teguh membangun masyarakat sadar akan bencana, dan tanggung jawab semua pihak, bukan pemerintah saja.
Jadi Hal itu bagian dari tugas kita sebagai salah satu komponen bangsa untuk ikut serta membangun masyarakat Indonesia sadar bencana sehingga akan menciptakan Indonesia yang tangguh bencana,” ujar Hilmi
Kita sebagai generasi muda harus bisa menjaga ekosistem alam dan melestarikan budaya yang ada di Indonesia yang sangat berlimpah untuk masa depan yang akan datang. sehingga, anak cucu kita dapat menikmatinya” tutup Hilmi. (Saiful amr)
*Hilmi – Mahasiswa Teknik Komputer Universitas Syiah Kuala