by M Rizal Fadillah*
SRIWIJAYATODAY.COM | Begitu mudahnya rezim memilih seseorang untuk diadili atau dihukum. Betapa sulitnya juga untuk mengadili dan menghukum orang pilihan lainnya. Hukum bermata terbelalak dengan timbangan yang berat sebelah. Simbolnya bukan dewi keadilan membawa pedang dan timbangan tetapi raksaksa menyeringai membawa gada besar dengan manusia kerdil sebagai pesakitan.
Edy Mulyadi adalah manusia pilihan yang dihadapkan pada rasaksa bengis itu. Untuk kesalahan yang tidak jelas bahkan tanpa salah yang layak diadili apalagi dihukum. Hanya karena menyebut IKN baru sebagai tempat jin buang anak untuk menggambarkan lokasi yang jauh dan masih sepi. Tidak berkorelasi dengan penistaan suku atau kelompok manapun.
Edy sendiri adalah jurnalis yang tentu saja faham bahwa pemberitaan dan pernyataannya itu bagian dari publikasi media yang masuk dalam ranah kompetensi UU Pers. Tidak serta merta dapat dibawa ke ranah pidana. Pemaksaan seperti ini menegaskan terjadinya kriminalisasi atas aktivis.
Lebih jauh publik mengaitkan dengan sikap kritis Edy terhadap berbagai peristiwa dan kebijakan termasuk soal pemberitaan atas pembunuhan enam laskar FPI di KM 50. Sebelum test area itu diobrak abrik dan dibantai habis oleh pihak-pihak yang ketakutan bahwa perbuatan jahatnya nyata dan beralat bukti.
Edy Mulyadi ditahan dan dinyatakan sebagai tersangka dengan delik yang dituduhkan sebagai ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan keonaran. UU 1 tahun 1946, UU ITE dan aturan KUHP diancamkan kepadanya. Ketentuan ini berhadapan dengan kritik dan kebebasan berpendapat yang dilakukan dan didalilkan Edy Mulyadi.
Menjadi teringat dengan kasus sumir lain HRS yang dituduhkan hampir sama atas perbuatan “menyatakan dirinya sehat” setelah pemeriksaan di RS UMMI Bogor. HRS diganjar hukuman 2 tahun oleh MA yang sebelumnya 4 tahun di Pengadilan Negeri. Hukum yang dipaksakan untuk melumpuhkan lawan politik.
Soal “tempat jin buang anak” bukan frasa ujaran kebencian itu ungkapan biasa untuk menggambarkan daerah yang jauh dan sepi. IKN baru yang memang masih dalam keadaan demikian. Apalagi terbukti beberapa waktu lalu di tempat ini dilakukan ritual mistik dipimpin oleh Presiden RI Jokowi. Upacara kendi pasir serupa dengan “buang jin”.
Tapi semua menyadari proses peradilan terhadap Edy bukanlah proses hukum tetapi proses politik. Sehingga berlaku adagium siapa berkuasa dapat bertindak apa. Negeri ini sudah tercoreng moreng oleh kasus-kasus politik di ruang pengadilan. HRS, Syahganda, Anton Permana, Jumhur, Kivlan Zen, dan lainnya menjadi contoh. Pembebasan aparat atas pembantaian 6 laskar FPI di ruang pengadilan juga bentuk dari operasi penyelamatan politik.
Edy Mulyadi tidak layak diadili, tidak ada kejahatan yang dilakukannya. Sementara penjahat asli masih berkeliaran dimana-mana apakah penista agama, koruptor, atau penghianat bangsa. Penjual kedaulatan negara itu pengisi ruang Istana. Bebas berkelana ke Singapura, Australia, Eropra, Amerika ataupun China.
Edy menjadi bagian dari martir demokrasi, pejuang kebebasan berpendapat, serta aktivis media yang bersuara apa adanya. Edy mewakili aspirasi yang tersumbat. Berjalan lurus di lorong kegelapan kekuasaan. Melabrak fatsoen basa-basi atas ancaman tirani dan oligarki yang selalu sembunyi.
Selamat berjuang, selamat membela kebebasan dan kemerdekaan untuk berpandangan beda. Berbasis keyakinan bahwa rezim sedang terperosok di lubang kezaliman. Kritik Edy Mulyadi atas IKN baru yang tidak layak dan dipaksakan adalah benar. Edy Mulyadi benar.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 11 Mei 2022