Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si Associate Profesor, Senior Lecture pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.
ENTAH mengapa, belakangan ini saya begitu tenggelam dalam perasaan yang sangat merindukan hadirnya “Sosok Ulama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin sangat dipengaruhi oleh apa yang pernah dikatakan seorang Kiyai atau Ustaz yang sangat sederhana dan rendah hati, tapi begitu dalam pengetahuannya tentang agama dan kehidupan.
Salah satu yang membekas dalam benak dan sanubari saya adalah wejangannya dan tausiyah tentang kepemimpinan Ulama dalam suatu komunitas masyarakat, baik Ulama sebagai institusi maupun Ulama sebagai pribadi.
Salah satu ciri yang sangat mudah dikenali, kata beliau, komunitas ataupun masyarakat juga bangsa yang berada dalam naungan dan kepemimpinan Ulama, maka salah satu ciri utamanya ; kesejukan dan kedamaian akan dirasakan oleh setiap individu maupun warga masyarakat dan bangsa yang dipimpinnya. Problemnya adalah ketika Ulama mau berperan dan ikutserta dalam proses politik acapkali mereka tak punya “kenderaan” untuk bisa menjadi “tokoh atau calon”.
Pilkada Aceh 2024 sedang berproses. Memang, belakangan ini, begitu banyak para tokoh dari berbagai institusi yang mengatasnamakan agama, tampil di permukaan kehidupan kita sehari-hari. Mereka tampil di pentas publik dengan menyandang predikat, atau diperkenalkan dan dinobatkan (lewat sosmed) sebagai Ulama. Hhhmmm….
Mulai dari Ulama jenis A hingga kelas Z. Sangat banyak, dan semuanya sangat aktif mengokohkan eksistensinya sebagai sumber ilmu, pengetahuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran agama (Islam). Bahkan yang belum lama menjadi mualaf-pun, tampil agresif dan turut memeriahkan pasar ‘predikat’ Ulama ini.
Hanya yang sangat disayangkan, kemunculan para ‘Ulama’ yang begitu marak ini, tidak dibarengi dengan tebaran rasa sejuk dan damai yang dirasakan oleh mayoritas warga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apa yang tergelar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara belakangan ini justru sebaliknya. Ini semua terjadi akibat sikap dari masyarakat itu sendiri dan kurang memberikan “tempat” yang layak untuk Ulama dalam berkontestasi.
Justru yang ramai bermunculan adalah ujaran kebencian dan nafsu untuk saling meniadakan. Meniadakan agama yang berbeda, dan bahkan satu agama namun beda mazhab, kian terasa makin diperuncing. Alhasil, kegaduhan antar umat beragama bermunculan menggantikan kerukunan hidup beragama yang berpuluh bahkan beratus tahun pernah kita hadirkan dan hidupkan di daerah dan di negeri ini.
Dalam keadaan demikian ini, wajar bila saya menjadi terdorong untuk kemudian sangat mengharap “Hadirnya Ulama sejati.” Tentunya Ulama sebagaimana digambarkan sang Kiyai atau Ustaz yang sangat rendah hati, tapi tinggi akhlak dan tinggi pula ilmunya itu. Sehingga mereka tidak saling menyalahkan.
Dengan kata lain, Ulama dan kesejukan serta rasa damai merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka ketika kesejukan dan kedamaian menghilang, digantikan dengan kebencian dan nafsu amarah untuk saling meniadakan, maka wajar bila muncul pertanyaan; di mana Ulama saat ini?
Bukan mereka yang populer dan besar nama yang kita cari, tapi mereka yang berakhlak mulia dan berilmu tinggi, ya Ulama sejati yang kita dambakan.
Di sisi lain, didesak oleh kegelisahan yang sangat tinggi menatap kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini, kerinduan akan hadirnya Bung Karno pun dalam konteks Nasionalisme Indonesia, begitu menyesakkan dada dan benak ini. Salah satu sebab yang paling utama, karena kian ramai gambar Bung Karno bertebaran dan sosoknya disanjung dipuja, tragisnya justru ajarannya semakin dikaburkan.
Bendera banteng lambang Nasionalisme memang berkibar megah di setiap rumah dan kantor penguasa negeri, namun ironisnya Nasionalisme Indonesia ajaran Bung Karno justru terkulai lesu dan kian memudar, bahkan impoten dan mampu berbuat apa-apa.
Kibaran bendera banteng merah yang seharusnya menggelorakan semangat Nasionalisme Indonesia, seakan tak mampu seperti kehilangan daya bangkit, karena kehilangan jati dirinya.
Tidak mengherankan bila kehidupan berbangsa dan bernegara penuh dengan hingar bingar pengkotakan, perpecahan, pemisahan, dan kian merebaknya sikap intoleran. Kerja politik yang membuat garis pemisah antara kaum Nasionalis dan agamis, semakin marak dan membesar. Dibuat sedemikian rupa seolah kaum Nasionalis adalah kelompok non agamis.
Sementara kaum agamis seolah tidak Nasionalis. Garis pemisah ini dibiarkan membesar karena kaum Nasionalis Indonesia (Bung Karno) tak terdengar suaranya yang hadir memberi kejelasan, penjelasan, dan pencerahan bahwa seorang Nasionalis Indonesia (Bung Karno) inheren dalam dirinya seorang pemeluk agama yang berketuhanan. Kaum Banteng tidak akan dan tak kan pernah mendikotomikan antara Nasionalisme dan Agama! Dengan tegas Bung Karno mengatakan bahwa hanya orang yang berketuhanan-beragama yang akan mampu memahami dan menjiwai Marhaenisme ajaranku!
Tidak mengherankan bila ada kelompok yang menggunakan kevacuman ideologi kaum Banteng ini dengan mengibarkan bendera agama dengan semangat anti kapitalisme – imperialisme. Dan bagai gayung bersambut, rakyat yang terluka dan terpinggirkan secara sosial-ekonomi oleh menguatnya lingkar kekuasaan ekonomi para cukong (konglomerat) yang tampil bermesraan dengan penguasa politik, langsung merasa terwakili oleh kemunculan pemimpin kelompok penentang ini (baca : dulu Front Pembela Islam – Kini telah dibubarkan).
Sayangnya kelompok ini kurang taktis dan bahkan menurut saya salah dalam melakukan pilihan strategi politiknya. Pada saat membesar kok malah tetap mempertahankan citra yang justru hadir tak peduli aturan main dan hukum plus tampil menakutkan. Sepertinya lebih memilih jalan politik sebagai kelompok garis keras dengan massa militan yang siap berhadapan dengan aparat negara yang menjadikan dirinya mudah digiring, sehingga menduduki posisi sebagai “musuh” negara. Mungkin pemahaman saya ini bisa saja salah dan keliru. Semoga ini menjadi pelajaran terbaik untuk kita dalam membangun bangsa ini. Insya Allah, Aamiin…
Andai lebih bermain cantik, tak terbayangkan betapa akan melebar dan meluasnya dukungan terhadap Organisasi Keulamaan. Hal ini besar kemungkinan bisa terjadi karena kelompok kaum Nasionalis belakangan sedang lelap tidur panjang (ideologi). Bendera perlawanan terhadap berbagai ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi, terhadap maraknya penjarahan harta negara, sangat nyaring disuarakan justru bukan oleh kaum Nasionalis Bung Karno. Padahal sejak kelahiran hingga masa perjuangan merontokkan rezim Orde Baru, kaum Nasionalis selalu berada di barisan paling depan menyuarakan perlawanan.
Belakangan ini kaum Nasionalis berikut sejumlah kadernya justru terlilit berbagai perilaku memalukan (baca : korupsi) yang sangat tidak diharapkan oleh masyarakat, terutama wong cilik. Tidak mengherankan bila pengidolaan terhadap pemimpin yang berasal dari kelompok di luar kubu kaum Nasionalis Bung Karno, terjadi dan begitu cepat meluas dan membesar.
Dalam keadaan yang sangat memprihatinkan ini, di mana figur Bung Karno lebih ramai ditampilkan di pasar politik ‘dagang sapi’ (komersial), wajar bila saya merindukan kehadiran kebangkitan kaum Nasionalis yang benar-benar memahami cita-cita Nasionalisme Indonesia ajaran Bung Karno. Bukan Nasionalisme salon yang hanya pandai menjual nama dan sosok Bung Karno di pasar politik komersial dengan semangat politik transaksional yang sangat tinggi. Mereka sibuk mengambil suara dari rakyat, lalu mereka membagi-bagikan kekuasaan dan jabatan. Sungguh miris dan menyedihkan.
Semoga dalam menyambut Tahun Politik Lokal 2024 merupakan “Pintu Rumah Aceh” akan diketuk oleh para “Ulama Sejati” yang bergandeng tangan dengan para pemimpin kaum Nasionalis Aceh – Indonesia yang kembali sadar dan bangkit kembali kepada jati dirinya.
Bila kedua pilar kekuatan ini sadar akan jati diri bangsanya, dan mereka mau bergandeng tangan, sejalan, dan bersama melangkah se-tujuan, maka membicarakan Aceh dan Indonesia yang berpengharapan dan berjalan menuju masa depan yang cerah, layak untuk kita bicarakan penuh antusias dan optimism. In Sya Allah.
Bila kaum Nasionalis Aceh dan Indonesia tetap memilih tidur panjang (ideologi) dan “Ulama Salon” semakin tumbuh menjamur, Indonesia yang melemah dan memudar, dipastikan akan menjadi sebuah keniscayaan. Bangkit dan bersatu dalam kesadaran dan kepastian adalah jawaban yang diharapkan.
Nah, tunggu apa lagi? Bukan saatnya lagi bermain di wilayah pencitraan. Bangun untuk menatap dan menangani kenyataan adalah langkah yang harus diambil oleh para pemimpin kita. Pemimpin dari seluruh aliran dan kelompok bangsa ini! Sebelum Aceh dan Indonesia hanya menjadi kenangan sebuah masa lalu.
Kuncinya : bersatu, menyatu, dan stop perseteruan memperebutkan pepesan kosong, jika kita ingin bangkit dan besar dalam kancah persaingan global. Selamat Menyambut Hadirnya Pemimpin Baru Aceh di Pilkada 2024 ini, Semoga Kita Memiliki Semangat Baru Untuk Kemajuan Bangsa yang Negeri Yang Kita Cintai. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Kota Madani, 05 Mei 2024