RajaBackLink.com

Home / Opini

Minggu, 2 Juni 2024 - 13:49 WIB

REGULASI HUKUM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA.

Saiful Amri - Penulis Berita

Penulis Gamal Abdul Nasser : Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

REGULASI HUKUM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA.

Sriwijayatoday.com | Medan – Salah satu kejahatan luar biasa yang selalu menjadi pembicaraan para akademisi dan praktisi di Indonesia adalah tindak pidana pencucian uang. Dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena memiliki modus yang berbeda dari tindak pidana pada umumnya dan jauh lebih berbahaya. Kejahatan ini dapat berdampak pada perekonomian dan keamanan suatu Negara sehingga dapat merugikan masyarakat di suatu Negara tersebut.

Kejahatan ini sangat kompleks, begitu pula pada proses pembuktiannya yang sangat sulit, apalagi kejahatan ini dilakukan dari luar negeri, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk memprosesnya.

Sehingga dalam perkembangan hukum positif di Indonesia proses pembuktian pada tindak pidana pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lainnya. Hal ini dikarenakan sifat luar biasa dari kejahatan ini. Oleh karena itu dalam kejahatan tindak pidana pencucian uang terdapat suatu metode pembuktian baru yakni pembuktian terbalik.

Alasan diterapkannya metode ini pada tindak pidana pencucian uang dikarenakan pada tindak pidana ini sering melibatkan pelaku kejahatan yang terorganisir. Sehingga hal ini membuat pembuktian sangat sulit dilakukan di persidangan. Akan tetapi tidak sedikit ahli hukum yang menentang hal ini karena bertentangan dengan prinsip asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 KUHAP mengenai tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Baca Juga :  Andai PDIP Memotori Pemakzulan Jokowi 

Setelah melalui perdebatan yang panjang oleh para ahli muncul ide untuk menerapkan metode pembuktian terbalik yang mana hal ini diadopsi dalam berbagai undang-undang yakni: UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU TPPU.

Pada UU Tipikor pembuktian terbalik diterapkan pada dua objek yakni: 1. Pada kasus Korupsi suap menerima gratifikasi yang nilanya mencapai Rp.10.000.000 atau lebih dan 2. Pada harta benda terdakwa yang berhubungan dengan pembuktian tindak pidana korupsi dalam perkara pokok dan harta benda terdakwa yang belum didakwakan ( Pasal 12 B, Pasal 37, Pasal 37 A Pasal 37 B UU TPPU) .Sedangkan pada UU TPPU pembuktian terbalik diterapkan pada tindak pidana pencucian uang secara aktif (Pasal 3 dan Pasal 4) dan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif (Pasal 5).

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Pasal 77 UU TPPU merupakan dasar hukum pembuktian terbalik pada tindak pidana pencucian uang, namun perlu diketahui bahwa Pasal tersebut secara eksplisit membatasi penuntut umum menseleksi harta kekayaan wajib atau tidak wajib untuk dibuktikan oleh terdakwa. Sederhananya hanya harta kekayaan yang tercantum dalam surat dakwaan saja yang wajib dibuktikan oleh terdakwa dan bukan harta terdakwa yang tidak tercantum dalam dakwaan.

Baca Juga :  PURNAWIRAWAN MENGGUGAT

Perlu dikritisi bahwa sampai saat ini tidak ada regulasi yang mengatur mengenai pembuktian terbalik secara rinci pada UU TPPU sehingga hal ini terkadang membuat kesulitan aparat penegak hukum. padahal konsep pembuktian terbalik pada UU TPPU memiliki tujuan untuk merampas harta kekayaan terdakwa dan pengembalian kerugian Negara melalui upaya pidana.

Secara teori terdapat dua teori yang dapat diterapkan pada pembuktian terbalik yakni: pembuktian terbalik murni dan pembuktian terbalik berimbang. Pada teori pembuktian terbalik murni harus diatur dalam UU TPPU agar penyidikan dan penuntutan sampai ke persidangan karena apabila tidak tidak diatur dalam bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Sedangkan dalam teori pembuktian berimbang tidak akan bersinggungan dengan hak-hak terdakwa karena penuntut umum hanya membuktikan kesalahan pelaku saja dan pada waktu yang bersamaan terdakwa membuktikan harta kekayaannya pula. Sehingga teori pembuktian berimbang ini dianggap lebih memberikan jaminan perlindungan hak terdakwa yang dianggap tidak bersalah. Teori ini ditujukan untuk merampas aset atau harta kekayaan milik terdakwa dan juga untuk mempidanakan pelaku tindak pidana pencucian uang.

Oleh karena itu konsep pembuktian berimbang adalah yang paling tepat diterapkan pada tindak pidana pencucian uang selain masih menghormati hak-hak terdakwa pembuktian ini mengejar aset kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana pencucian uang.(*)

 

 

 

Editor: Ayahdidien

Berita ini 128 kali dibaca

Share :

Baca Juga

Hukum & Kriminal

SADIS! MEMBUNUH MANTAN DANDIM LAYAK DIHUKUM MATI

Opini

MILISI KECOA KAKUS

Headline

Taati Proses Hukum Yang Sudah Didaftarkan Di PTUN

Opini

JANGAN LUPA GAGALKAN COLDPLAY

Aceh

FAKSI : Ketua DPRK Aceh Timur Mundur atau Mau Dilengserkan Rakyat?

Opini

JANGAN TERIAK POLITIK IDENTITAS

Opini

TETAP MEWASPADAI KOMUNIS

Hukum & Kriminal

KEJUTAN AWAL TAHUN : HUTAHAEAN DAN GIBRAN-KAESANG