Sriwijayatoday.com, PALI – Senin, 22 September 2025, keresahan masih menyelimuti masyarakat Desa Curup, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI). Sudah hampir setengah bulan berlalu sejak pipa milik Pertamina Adera di wilayah Raja 45 pecah, namun persoalan pencemaran kebun warga tak kunjung menemukan titik terang.
Kebun karet yang menjadi tulang punggung ekonomi warga kini rusak parah akibat tumpahan minyak. Harapan untuk kembali menyadap karet pun sirna.
“Kalau dibiarkan, kami jelas merugi. Karet tidak bisa lagi disadap, tanaman lain pun mati. Pertamina harus bertanggung jawab,” keluh salah satu warga dengan nada kecewa.
Ironisnya, ketika dimintai keterangan, perwakilan Pertamina Adera Field, Indrika Eko Sriyatini, S.Sos., M.Si., justru menyatakan dirinya sedang cuti.
“Silakan hubungi rekan kerja yang lain, saya sedang cuti,” balasnya singkat melalui pesan tertulis.
Rekan Indrika yang dihubungi terpisah pun tak memberi kepastian. Ia hanya menyebut pihaknya masih menunggu klarifikasi lebih lanjut dari Adera Field terkait langkah penanganan dan mekanisme ganti rugi.
“Saat ini kami masih menunggu penjelasan resmi. Untuk ganti rugi masih dalam tahap diskusi internal,” ujarnya.
Lambannya respon perusahaan membuat warga kian geram. Mereka mulai mempertimbangkan jalur hukum jika masalah ini terus berlarut tanpa solusi nyata.
Pemerintah Desa Curup juga menegaskan tidak akan tinggal diam. Kepala Desa Curup, Muhammad Tisar, memastikan akan terus memperjuangkan hak warganya.
“Kami sudah menyampaikan laporan resmi. Jika sampai batas waktu tertentu tidak ada kepastian, kami akan bersikap lebih tegas. Ini menyangkut hak hidup warga,” tegas Tisar.
Kasus ini juga menuai sorotan publik. Aktivis lingkungan menilai Pertamina Adera lalai dalam pengawasan, mengingat kebocoran pipa bukan pertama kali terjadi di PALI.
“Kalau hanya alasan teknis tanpa solusi, maka kasus serupa akan terus berulang, dan korban selalu masyarakat,” ungkap seorang pemerhati lingkungan.
Ia juga menyinggung peran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) PALI yang dinilai lamban.
“DLH seharusnya turun langsung ke lapangan untuk memastikan pencemaran tanaman warga, bukan hanya diam,” kritiknya.
Sementara itu, praktisi hukum Apriansyah, S.H., menilai kasus ini berpotensi tindak pidana lingkungan hidup.
“Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 jelas melarang perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pasal 116 menegaskan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika terbukti, sanksinya penjara 3–10 tahun dan denda Rp3–10 miliar,” tegasnya. Minggu 21/9.
Selain itu, lanjutnya, Pertamina Adera juga diduga melanggar PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 yang mewajibkan perusahaan mencegah dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. “Pertamina harus bertanggung jawab penuh,” pungkasnya.
Kini, warga terdampak hanya bisa menanti kepastian. Mereka berharap Pertamina segera turun langsung ke lapangan, melihat kerugian secara nyata, dan memberikan kompensasi yang adil.
“Cukup sudah kata-kata. Kami menunggu bukti nyata,” ujar salah seorang warga penuh harap. (Jiemie)