BENARKAH KITA SUDAH MERDEKA, KETIKA URUSAN PANGAN SAJA MASIH DIATUR OLEH BANGSA LAIN?
Oleh : T.M. Jamil, Associate Profesor (Pengamat Sosial dan Akademisi pada USK Banda Aceh.)
MEMAKNAI Hari Kemerdekaan RI ke-79 pada Besok Sabtu, 17 Agustus 2024, barangkali akan lebih berarti jika kita semua stakeholder bangsa ini kembali menengok salah satu satu sisi kedaulatan negara yang harus dijaga, khususnya masalah kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan, diartikan sebagai upaya negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat, dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Dengan cita-cita mencapai kedaulatan pangan, maka Politik Pangan yang diharapkan tentunya yang dapat menciptakan ketahanan pangan sebagimana UU No.18/2012 tentang Pangan yang pada intinya menginginkan terciptanya kondisi terpenuhinya pangan warga negara dengan kesediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, bergizi, merata dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Ironisnya, setelah 79 tahun kemerdekaan RI, semua dapat melihat realitas kedaulatan dan kemandirian pangan keseharian.
Betapa tidak, sampai dengan saat ini nyaris semua kebutuhan pangan diimpor dari luar negeri. Beragam alasan dapat dibaca pada berita mengenai impor beras sepanjang tahun periode Kedua Jokowi yang menurut data BPS sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai 1,03 miliar dolar AS. Lihat juga dahsyatnya impor gandum pada empat tahun yang lalu mencapai hampir 12 juta ton. Belum lagi angka impor kedelai, gula, kentang, singkong, tepung terigu, jagung, garam, dan lain-lain. Tidak habis pikir, mengapa bangsa agraris yang makanan pokok nya sebagian besar adalah beras, bisa mengimpor gandum hampir 12 juta ton.
Di beberapa daerah seperti Papua dan Maluku makanan pokok malah sagu, dan di NTT jagung. Tercatat, konsumsi gandum terbesar terserap oleh industri tepung terigu nasional sebesar 8 juta ton. Sedangkan 3,8 juta ton sisanya, sebagian terserap untuk memenuhi kebutuhan sektor pakan ternak. Menjadi pertanyaan, apakah bangsa Indonesia sudah merubah makanan pokoknya dari beras ke gandum? Dari makan nasi menjadi makan mie instan? Politik pangan macam apa yang bisa menggusur sumber daya pangan asli menjadi amat tergantung pada pangan impor? Lalu, apa kabarnya upaya diversifikasi pangan yang didengungkan selama ini?
Politik pangan, konon terpaksa “dikondisikan” tunduk pada ketentuan WTO terkait liberalisasi pertanian melalui skema “Agreement on Agriculture” (AoA). Dengan skema liberalisasi, maka impor pangan menjadi sesuatu yang niscaya dibuka selebar-lebarnya. Kondisi tersebut jelas amat memukul produksi petani sehingga tidak heran, petani menganggap kegiatan bertani tak lagi ekonomis dan terjadi alih profesi besar-besaran petani ke pekerjaan lain diluar tani dan kebun. Padahal, sebelum perjanjian AoA, Indonesia tercatat sebagai negara eksportir beras ke-9 di dunia.
Tetapi pada 1998, tiga tahun setelah perjanjian AoA dilaksanakan, Indonesia berbalik menjadi negara pengimpor beras terbesar dengan rata-rata 3,8 juta ton beras. Dengan peta persoalan pangan demikian, masih mungkinkah upaya diversifikasi pangan mengandalkan sumberdaya pangan lokal berhasil dilaksanakan? Sementara sumberdaya pangan lokal masih amat beragam banyaknya, mungkinkah diupayakan meningkatkan besar-besaran budidaya mocaf dan sukun sebagai pengganti gandum? Apakah politik pangan kita masih cukup percaya diri untuk menyatakan era ketergantungan impor pangan telah usai, digantikan dengan swasembada pangan? Apa pula pendapat para pembaca yang mulia?
Masalah pangan, memang terdapat pangan kita yang sudah swasembada tapi ada juga yang belum. Daging ayam sebetulnya sudah bisa berswasembada, hanya masalahnya hari ini terdapat konsekuensi dari keputusan sidang WTO yang memenangkan Brazil terkait ekspor ayam mereka ke Indonesia. Ihwal kedaulatan pangan hari ini, kita memang belum sepenuhnya berdaulat. Hal itu lebih karena ketahanan pangan nasional yang rendah dan belum mampu sepenuhnya menyediakan alternatif pangan lokal dari upaya diversifikasi pangan untuk pangan selain padi.
Upaya-upaya diversifikasi pangan lain seperti kedelai, sukun, sorgum dan lainnya memang lemah yang menyebabkan ketahanan pangan kita juga rapuh. Kedua, Indonesia sampai saat ini masih belum berdaulat di bidang pangan karena untuk beberapa komoditas pangan masih didikte oleh pihak asing misalnya dalam penyediaan bibit/benih jagung dan padi oleh Monsanto dan sebagainya. Jika Indonesia punya kedaulatan pangan maka persoalan benih yang menimpa petani di Aceh tidak akan terjadi.
Di sisi lain, kita masih belum bisa mandiri dalam menentukan kebutuhan impor pangan apa yang dibutuhkan, begitu pula spesifikasi minimum requirement, termasuk kandungan kimiawi dan lain-lain. Terkait impor gandum yang besar sekali, masalahnya terletak pada belum cukup tersedianya upaya produk pengganti gandum untuk tepung terigu yang diproduksi dari bahan baku lokal. Budidaya besar-besaran untuk mocaf, sukun dan sorgum sebagai pengganti gandum tinggal bagaimana pemerintah mendorong dan mengupayakan budidaya bahan baku lokal tersebut.
Sepertinya belum memungkinkan kita untuk serta merta meminta konglomerasi tertentu agar ketergantungan impor gandum berkurang, tapi bisa diberikan alternatif kepada produsen tersebut untuk mengganti bahan baku gandum dengan bahan baku lokal, dengan catatan cita rasanya tidak berkurang untuk produk tepung terigu. Jika berhasil diciptakan, maka produsen tersebut diberikan insentif, misalnya dengan keringanan pajak dan sebagainya sebagai ganti dari pengurangan impor gandum. Di situlah polical will pemerintah diperlukan.
Sebetulnya banyak sekali bahan baku pangan lokal yang bisa diberdayakan seperti singkong, sukun, sorgum, mocaf, jagung, sagu dan bahan pangan lain asli daerah tertentu. Masalah sebenarnya dari persoalan pangan ada pada tingkat konsumsi. Mengapa tergantung pada konsumsi, karena konsumsi kita kurang diarahkan. Konsumsi selama ini diserahkan pada mekanisme pasar. Diversifikasi yang terjadi justru bukan ke arah pangan lokal padahal keragaman sumber bahan baku hayati Indonesia tersedia banyak sekali. Tetapi yang terjadi justru diversifikasi pangan di arahkan ke pangan impor yakni gandum.
Masalah fokus diversifikasi yang masih ke arah pangan impor itulah yang saat ini harus menjadi concern pemerintah untuk bagaimana mengurangi atau mengerem diversifikasi ke arah pangan impor. Karena hal itu akan semakin merapuhkan ketahanan pangan nasional. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah membuat pengaturan terhadap konten lokal. Bahan pangan yang berbahan baku impor gandum, komposisi gandumnya harus dikurangi. Kemudian gandum disubstitusi dengan bahan pangan lokal.
Kalau tidak ada kebijakan pengurangan bahan baku gandum dan meningkatkan kandungan konten lokal pangan, maka impor gandum akan meningkat terus. Juga, kalau tidak dilakukan pengaturan minimum local content maka pasti sumberdaya pangan lokal kita yang saat ini sudah beragam, akan hilang karena tidak diberdayakan. Kalau sudah semakin hilang, maka ke depan ketahanan pangan nasional akan semakin rapuh baik dari sisi konsumsi maupun sisi produksi. Sumber daya hayati dalam negeri kalau tidak diberdayakan maka sudah pasti akan hilang dan tidak punya lagi nilai ekonomis.
Pengaruh WTO – Agreement of Agriculture (AoA) sudah pasti sangat tinggi. Tetapi item pangan sebetulnya yang dikecualikan. Pangan tidak termasuk kategori komoditi yang betul-betul bebas. Hanya saja, kalau itu terkait dengan hilangnya keragaman sumber daya hayati nasional karena tidak dikelola dengan baik atau tidak dikonsumsi, maka sudah pasti akan hilang. Petani akan membabat itu semua dan diganti dengan komoditas lain. Termasuk yang akan hilang itu sukun dan umbi-umbian karena tidak digunakan.
Padahal kalau digunakan itu akan sangat potensial sebagai bahan baku pangan lokal. Oleh karena itu sebenarnya untuk perjanjian dengan komitmen liberalisasi pertanian AoA –WTO konteks kita sebenarnya bukan hanya sekadar aksi menolak impor, tapi adalah dalam rangka mempertahankan keragaman sumber daya hayati nasional. Sumber daya hayati harus digunakan, meski belum sampai 100 persen sukun misalnya, maka bahan pangan impor harus direm dengan ketentuan minimum local content. Pemerintah harus berani membuat kebijakan terobosan ke depan terkait pengurangan bahan pangan impor dengan minimum local content. Kalau tidak, maka ketahanan pangan nasional akan semakin rapuh.
Syahdan, jawaban atas pertanyaan mengapa bangsa Indonesia mau merdeka di tahun 1945 adalah keinginan bebas menentukan nasib sendiri, tidak dikendalikan bangsa lain (baca: penjajah). Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia melanjutkan arti bebas merdeka bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas. Jembatan yang menghubungkan antara keadaan rakyat yang belum adil sejahtera karena penjajahan saat itu dengan keadaan rakyat yang adil sejahtera karena mampu merubah nasibnya sendiri melalui pembangunan. Hal yang serta merta dapat dirasakan akibat merdeka pada 1945 adalah berdirinya Republik Indonesia sebagai negara berdaulat. Berdaulat terhadap wilayah dan berdaulat terhadap pemerintahan. Indonesia tidak perlu meminta izin atau persetujuan bangsa dan negara lain untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Namun demikian, daulat wilayah dan pemerintahan masih belum sepenuhnya diikuti kedaulatan di bidang-bidang lainnya. Mengancam 79 tahun kemerdekaan Indonesia, kedaulatan di bidang pangan masih diperdebatkan banyak pihak. Jika memang berdaulat di bidang pangan, mengapa impor pangan deras melaju membuat produsen pangan domestik terhimpit bahkan ada yang gulung tikar? Jika memang berdaulat di bidang pangan, mengapa ketergantungan rakyat begitu tinggi terhadap bahan pangan impor?
Data BPS tahun 5 tahun terakhir menyebutkan luas panen padi di Indonesia sebesar 10,9 juta hektar. Total produksi padi sebesar 56,54 juta ton GKG, dan produksi padi tersebut setara dengan 32,42 juta ton beras. Data yang dikeluarkan BPS tersebut merupakan antiklimaks dari karut marutnya data produksi beras nasional sehingga terjadi kegaduhan kebijakan impor beras 2018 yang lalu. Pesan pentingnya adalah tanpa data yang akurat dan valid maka tidak dapat mewujudkan kedaulatan pangan.
Selain beras sebagai makanan pokok yang konsumsi per kapitanya 114,7 kg lima tahun terakhir, maka terigu dalam berbagai bentuk dengan mie sebagai bentuk utamanya ternyata konsumsi per kapitanya sebesar 25 kg tahun tiga tahun yang lalu naik 61,3 persen dari tahun sebelumnya. Bandingkan dengan pertumbuhan konsumsi beras per kapita periode 2007-2017 (selama 10 tahun) hanya sebesar 0,67 persen. Disebutkan alasan rendahnya pertumbuhan konsumsi beras per kapita karena keberhasilan program diversifikasi pangan. Benarkah demikian? Apakah lebih banyak bergeser ke konsumsi terigu yang bahan bakunya impor?
Berdaulat di bidang pangan sebagaimana cita-cita bapak pendiri bangsa saat merdeka dan mengusahakan kedaulatan wilayah dan pemerintahan Indonesia, sepertinya harus dimulai sejak dini. Konsumsi pangan anak-anak menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan politik pangan negeri ini. Gerakan sarapan sehat pagi hari di Sekolah Dasar menjadi salah satu program yang perlu dipertimbangkan. Pendidikan makan bersama sebelum belajar dengan makanan yang dapat dikoordinasikan penyediaannya baik secara sukarela atau subsidi pemerintah akan membentuk perilaku dan pola makan generasi muda Indonesia.
Susu sebagai minuman sehat untuk anak-anak SD dapat disediakan oleh produsen dengan koordinasi pemerintah melalui berbagai kebijakan fiskal dan moneter. Para pedagang makanan dan UMKM yang biasa menjajakan makanan bagi anak-anak SD di sekolah perlu dibina dan dikoordinasi agar mampu menyajikan makanan sehat. Hal ini juga menjauhkan generasi muda dari ancaman narkoba serta zat-zat berbahaya lainnya yang dapat masuk melalui pangan yang dijajakan di lingkungan sekolah.
Politik pangan ke depan harus lebih memperhatikan pangan untuk generasi muda agar membentuk pola makan dan perilaku konsumsi pangan yang sehat sehingga dapat mendukung kedaulatan pangan sejati di Indonesia. Sekali lagi apa arti produksi pangan berlimpah tanpa manusia sehat yang mengkonsumsinya. Manusia sehat salah satunya ditentukan oleh pola makannya. Pola makan dibentuk perilaku konsumsi pangan.
Dirgahayu Indonesia 2024 menyongsong bonus demografi manusia Indonesia yang sehat dan kuat karena pola makan dan perilaku konsumsi pangannya. Pertama, sebetulnya masih mungkin kita berbicara tentang kedaulatan pangan. Kita harus membatasi segera impor gandum, karena Indonesia juga tidak menanam gandum tapi mengonsumsi gandum. Cara membatasi salah satunya adalah dengan menaikkan harga impor gandum. Walaupun sekarang sedikit agak repot karena gandum saat ini sudah cenderung menjadi makanan pokok melalui mie instan. Hal itu jelas kesalahan strategi pemerintah dalam hal ketahanan pangan.
Sebenarnya ada substitusi gandum yang berasal dari singkong atau mocaf. Walaupun tidak 100 persen tetapi sebenarnya cukup bisa menjadi substitusi. Pemerintah juga harus mewajibkan konten lokal pangan. Kalaupun misalnya mie instan menjadi makanan pokok, maka pemerintah harus mewajibkan konten lokal dengan kebijakan bertahap sebanyak 30 persen dulu, baru kemudian jadi 50 persen, misalnya. Hanya yang harus diperhatikan adalah produktivitas konten lokal seperti singkong hal mana juga harus di maintain kembali agar mampu memenuhi tingkat kebutuhan produksi konten lokal pangan.
Selama ini banyak singkong yang ditanam petani tapi produktivitas nya masih rendah. Boleh jadi karena tidak adanya arahan atau pendampingan masif, dan itu mencerminkan keseluruhan kebijakan pemerintah soal pangan atau politik pangan. Dengan berat hati bisa disimpulkan bahwa kita sebetulnya tidak punya politik pangan atau strategi pangan, termasuk ihwal diversifikasi pangan. Padahal sumberdaya pangan lokal banyak sekali seperti umbi-umbian. Bahkan beberapa bahan pangan asli malah sudah mulai hilang. Sagu sendiri di Papua dan Maluku sudah digantikan oleh beras yang sebenarnya juga sebuah kekeliruan strategi pangan rakyat.
Jika saja ketersediaan sumberdaya pangan lokal berhasil digarap dengan serius, maka kasus-kasus kelaparan tidak akan terjadi. Kedua, pemerintah selama ini berpikiran bahwa kalau swasembada pengan harus dengan skala besar. Dengan metode intensifikasi atau ekstensifikasi seperti zaman orde baru atau dengan Binmas dan Inmas. Dulu sering disebut sebagai revolusi hijau yang akhirnya merugikan secara keseluruhan dalam jangka panjang.
Swasembada sendiri seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Tulang punggung swasembada sebetulnya adalah petani dan bukan industri besar. Bukan pula seperti food industrial estate yang dibangun Jokowi di Merauke. Kalau itu skala besar, atau agriculture estate yang juga skala besar. Hal itu juga keliru. Justru yang diberdayakan seharusnya adalah petani. Sekarang rata-rata pendapatan petani hanya tinggal Rp. 500 ribu per hektar per bulan. Data nasional pendapatan petani per hektar sekitar Rp. 2 juta per hektar, dibagi selama 4 bulan maka pendapatan petani hanya berkisar Rp. 500 ribu per hektar.
Pengalaman Jepang dalam memberdayakan petani adalah dengan memberikan dukungan kepada koperasi untuk membeli beras petani. Dengan demikian, kalau kita hendak memberdayakan petani maka caranya adalah dengan memberdayakan koperasi. Bukan memberdayakan Bumdes. Sistem yang integrated lintas sektoral antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi. Bumdes yang sekarang lebih ditonjolkan sebetulnya adalah bentuk kekeliruan visi. Lebih bermanfaat memberdayakan langsung petani melalui Koperasi, tetapi sebenar-benarnya koperasi.
Ketiga, Dari sisi ketersediaan lahan pertanian, dari survei yang dilakukan mandiri di pedesaan, sebetulnya lahan yang tidak dimanfaatkan dengan benar masih banyak tersedia. Kalau dimanfaatkan tidak dengan pemanfaatan yang efisien dan hasilnya pun amat sedikit. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya input science, input manejemen atau pendampingan dan input permodalan kepada petani kita. Jadi di Pulau Jawa meskipun penduduknya sudah banyak, masalah lahan bukanlah persoalan penting.
Apalagi kalau pemerintah betul-betul bisa menegakkan aturan tentang landreform atau reforma agrarian. Lahan pribadi yang menganggur selama dua tahun maka sudah selayaknya harus dikembalikan kepada pemerintah. Itulah reforma agraria yang sebenarnya. Agar orang-orang kaya di kota yang punya tanah atau lahan super luas di desa tidak membiarkan lahannya “nganggur” begitu saja.
Kesimpulannya, ketahanan pangan harus mampu mengaitkan ketiga hal yang sudah disampaikan di atas secara integrated, agar ketahanan pangan mencapai hasil yang maksimal. Termasuk dalam mendukung program diversifikasi pangan. Jangan sampai bangsa ini tak kuat lagi untuk berteriak merdeka, ketika isi perutnya masih kosong. Camkanlah …(*)
Editor: Ayahdidien