TGK. H. MUHAMMAD YUSUF A. WAHAB : ACEH KE DEPAN, BUTUH PEMIMPIN YANG “BERANI” MENJALANKAN SYARI’AT ISLAM
‘Dibahas dalam Kajian Aktual Tastafi oleh ISAD”
Banda Aceh – Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (DPP ISAD) menyelenggarakan kajian aktual Tastafi bulanan dengan tema “Menanti Pemimpin Pro Syari’at Islam di Aceh” di Hotel Hermes Palace Banda Aceh pada Selasa malam, 28 Mei 2024. Kajian aktual ini dihadiri dua ratusan peserta dari berbagai latar belakang, dari mahasiswa, tokoh muda, politisi dan sebagainya.
Kajian aktual yang dimoderatori oleh Tgk. Muhazzir Budiman, M.Ag ini diisi oleh Ketua Umum Himpunan Ulama Dayah (HUDA) Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab sebagai narasumber utama, Ketua Majelis Tastafi Banda Aceh Abi Umar Rafsanjani, Lc, MA dan Sekjend ISAD Dr. Teuku Zulkhairi, MA.
Berkaitan dengan tema kajian, Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab atau biasa disapa Tu Sop Jeunieb di awal pemaparannya mencoba membuka cakrawala peserta kajian dengan membandingkan Aceh dan keadaan di dunia Islam lainnya seperti di Mesir dan Turkiye.
Tu Sop mengatakan bahwa di Mesir ada gerakan Ikhawanul Muslimin, di Turkiye ada gerakan Islam yang dipimpin oleh Erdogan yaitu partai AKP.
Menurut Tu Sop, kita di Aceh secara regulasi sudah mengamanahkan penegakan syariat Islam, namun di sisi lainnya Turki itu mereka masih menggunakan konstitusi sekuler. Jadi Aceh ke depan, tidak hanya butuh pemimpin yang pro syari’at, tetapi juga pemimpin yang berani menjalankan syari’at Islam secara sungguh-sungguh. Nah, jika begitu, sudahkah kita menyiapkan pemimpin seperti itu?.Tanya Tu Sop dalam nada serius.
Sementara itu, lanjutnya, “Tapi ternyata kebijakan-kebijakan kepemimpinan di Turkiye itu memberikan dampak positif terhadap Islam dan kaum muslimin. Sementara itu, kita di Aceh yang menjalankan regulasi Syari’at Islam namun nyatanya masih belum berdampak besar terhadap kaum muslim walaupun regulasinya sudah dimulai dengan aturan Syari’at Islam,” ujar Tu Sop.
Menurut Tu Sop, penegakkan Syari’at Islam tidak cukup dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga harus memiliki strategi yang kuat dalam mencapai kan tujuan. Artinya, antara tujuan, cita cita dan strategi harus sejalan karena akan berdampak pada kehidupan dunia dan akhirat.
Hal ini menurut Tu Sop, sangat berhubungan dengan kaidah “kebatilan yang teroganisir dapat mengalahkan kebenaran yang tidak teroganisir”.
“Ini lah kondisi kita di Aceh “Niet jroh, tapi cara hana geutu’oh,” kata Tu Sop dalam bahasa Aceh yang kental.
Tu Sop menambahkan, saat Ibrahim Hasan sudah dimulai dengan mendampingkan “Ulama dan Umara” disini niatnya udah benar, namun kondisinya hanya pada event saja kala itu. Inilah yang saya katakan bahwa pemikiran sudah ada, namun belum fokus dengan cara dan strategi.
“Nah, begitu juga saat kita sudah diamanahkan oleh undang-undang tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kita sudah diformalkan melaksanakan syariat Islam. Padahal dulunya ulama-ulama kita sudah menyajikan pengetahuan Syari’at Islam, sudah dimulai dengan rumusan akidah dan tauhid dalam kehidupan bermasyarakat. Sesuai dengan ilmu fiqh dalam penegakkan Ibadah, misalnya, wudhu, bersuci, shalat, dan lain sebagainya,” urai pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Bireuen ini.
Dulu, kata Tu Sop, ulama mengajarkan syariat Islam di Aceh, dan saat itu umat islam melaksanakannya. Walaupun mereka saat itu tidak mengetahui dalil-dalil dari kewajiban tersebut. Itulah buah karya ulama kita waktu itu dengan niat dan strategi penegakan syariat Islam.
“Namun ini berbeda dengan kondisi umat Islam yang mengetahui kewajiban shalat, tahu dalil-dalilnya, namun mereka tidak melaksanakannya. Misalnya betapa banyak bagi kita hari ini yang mengetahui kewajiban shalat, namun betapa banyak yang meninggalkan shalat? Untuk apa mengetahui kewajiban shalat itu ? jika tidak mengamalkan kewajiban shalat? Ini problem umat islam saat ini, “ kata ulama yang dikenal memiliki pemikiran yang progresif ini.
Kembali kepada konteks Aceh dan Indonesia, kata Tu Sop, mulai dari pembentukan undang-undang dan rumusan peraturan di Indonesia. Mulai dari penentuan Presiden, MPR, gubernur dan bupati. Di mana rumusan itu setidaknya memiliki khas dari karakteristik dengan konsep Islam, dimana saat itu tidak semua masyarakat dilibatkan dalam pemilihan.
“Dalam konteks fiqh dikenal dengan _ahlu hal wal ‘aqdi_. Ini bermakna “kotaknya” udah betul dan di isinya itu yang bermasalah. Ini seprti guyonan orang jualan “minta onta dalam botol yang diberikan merek cap Babi” atau Minyak babi yang diberikan cap unta. Inilah masalah kita saat ini. Dan inilah yang dimaksud dalam kondisi politik konvensional/kontra syari’at.
Kita tidak mengatakan tidak mungkin, kita harus terus berfikir untuk menemukan solusinya. Minimal solusi untuk Aceh. Sementara Itu, dalam konteks memilih pemimpin, kita tidak boleh “melibatkan semuanya”.
Salam Islam, kata Tu Sop, di antara aturan dalam tata cara memilih pemimpin adalah adanya kelompok yang ahli yang menunjuk seorang pemimpin dan awam mengikuti tokoh-tokoh ahli itu. Inilah yang menjadi tantangan kita saat ini? Apakah ada tokoh yang benar-benar ahli? Dan ahli itu diikuti oleh masyarakat awam? Semuanya itu harus memiliki integritas dan kapasitas untuk melahirkan kebijkan untuk melahirkan pemimpin.
“Disini dibutuhkan kesepakatan dan komitmen. Kalau sebuah kesepakatan ini menjadi arus, maka ini akan berdampak dalam masyarakat kita, mulai dari yang paling kecil seperti Keuchik hingga yang lebih tinggi seperti Gubernur dan presiden.
“Persoalan berhasil atau tidak ya kita harus memulai membangun arus perbaikan ini menuju masa depan Aceh yang lebih maju,” pungkas Sop.
“Masyarakat Kita Alergi dengan Kehadiran Ulama dalam Politik, tapi Berharap Pemimpin Peduli Islam”
Narasumber lainnya, Abi Umar Rafsanjani, Lc, MA yang tampil sebelum sesi Tu Sop Jeunieb dalam ulasannya mengatakan bahwa mundurnya Islam dan majunya barat karena sama-sama meninggalkan agama.
“Kondisi kita saat ini, umat islam secara umum tidak mau peduli kepada Syari’at Islam. Akan tetapi berharap lahir kebijakan kebijakan yang sesuai syari’at Islam,” ujar Pimpinan Dayah Mini Banda Aceh ini.
Menurut Abi Umar Rafsanjani yang aktif berdakwah di Pulau Penang Malaysia ini, kondisi ini persis seperti orang mau menang tapi tidak mau bertanding. Mau keturunan tetapi tidak mau kawin. Berharap adanya pemimpin Islam dan agamis atau ulama yang pro Syari’at Islam, tetapi nyatanya tidak jarang mereka alergi terhadap praktek politik Islami bahkan tidak mau memilih pemimpin yang ada latar belakang agama atau pemimpin yang pro syari’at Islam.
“Bahkan tidak jarang keluar kata-kata haram berpolitik bagi praktisi agama atau para ulama yang paham strategi politik, akhirnya terpilihlah pemimpin yang kontra syariat. Jika keadaan ini terus berlanjut maka sampai kapanpun tidak akan lahir pemimpin yang pro syari’at Islam di Aceh,” tegas Abi Umar Rafsanjani.
“Seperempat Abad Syar’iat Islam di Aceh tapi Belum Ada Pemimpin Pro Syar’iat Islam”
Sementara itu, Narasumber terakhir, Dr. Teuku Zulkhairi MA dalam ulasannya mengatakan bahwa alasan utama kita butuh pemimpin yang pro Syari’at Islam di Aceh adalah karena usia Syariah Islam di Aceh sudah hampir seperempat Abad.
“Aceh adalah pemimpin peradaban Islam kawasan Melayu di masa silam, dan pelaksanaan Syari’at Islam era kontemporer telah berusia hampir seperempat abad. Tapi kita belom memiliki pemimpin yang siap berdiri di garda depan dal menyukseskan penegakan Syar’iat Islam di Aceh.
Pemimpin-pemimpin kita lalai dengan urusan dunia. Mereka semangat dengan urusan olahraga, tapi tidak menunjukkan semangat yang sama untuk Syar’iat Islam. Jadi ini kondisi miris kita sekarang,” ujar Teuku Zulkhairi.
Menurut Teuku Zulkhairi, saat ini masyarakat kita sangat antusias dengan ide-ide dan gerakan keislaman, tapi kita belum memiliki pemimpin yang betul memahami arah dan masa depan Aceh bersama Syariat Islam.
“Maka saat ini ada satu hal yang kita semua butuhkan, yaitu kepemimpinan yang baik dan adil untuk membawa peradaban Islam di Aceh menjadi lebih maju. Itulah yang kita maksudkan sebagai pemimpin pro Syari’at Islam,” ujar Teuku Zulkhairi.
Ia juga mengatakan, Malaysia punya pemimpin besar seperti Nik Azis yang berhasil mendorong perubahan besar di Kelantan dan kini pengaruhnya membesar di Malaysia melalui Partai Islam se Malaysia (PAS).
Jadi, menurut Teuku Zulkhairi, saat ini, banyak negara Islam menghadapi tuntutan masyarakat untuk memimpin berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam pemerintahan mereka.
Menurut Zulkhairi, pemimpin yang pro syari’at Islam itu kita harapkan akan memperjuangkan hak-hak rakyatnya, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan memberikan pelayanan yang lebih baik.
Selain itu, pemimpin yang pro syari’at Islam juga dapat mengatasi masalah sosial dalam masyarakat.
Dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip moral dan etika yang kuat, seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayang. Pemimpin yang pro syari’at Islam akan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam pemerintahan mereka, sehingga memastikan adanya keseimbangan sosial yang harmonis.
Pemimpin yang pro syari’at Islam juga dapat mengatasi masalah ekonomi dalam masyarakat. Dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, seperti keadilan dalam perimbangan distribusi kekayaan dan perdagangan.
“Pemimpin yang pro syari’at Islam akan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam pemerintahan mereka dan menjaga keseimbangan ekonomi. Dengan pemimpin yang pro Syari’at Islam, kita harapkan juga dapat membenahi problem politik kita di Aceh yang sudah sangat rusak dewasa ini seperti merajalelanya politik uang dan sebagainya,” tutup Zulkhairi.
Rilis : @TMJ