Sriwijayatoday.com | Banda Aceh, – Akademisi Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. TM Jamil, angkat bicara soal pengalihan empat pulau dari Aceh Singkil ke Sumatera Utara. Ia menyebut persoalan ini bukan sekadar soal administrasi wilayah, tapi menyangkut martabat dan kedaulatan daerah. Lebih dari itu, menurutnya, sejarah membuktikan: “Tak pernah ada pemerintah daerah menang saat ‘melawan’ pemerintah pusat.”
Empat pulau yang dimaksud adalah Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipah, dan Panjang, yang dalam Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 secara sepihak dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pulau-pulau itu selama ini secara de facto dan de jure masuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
“Ini masalah besar, bukan untuk dijadikan mainan politik atau seremonial,” kata Prof TM Jamil kepada sejumlah wartawan dalam pertemuan santai di salah satu warkop di Banda Aceh.
Ia menyarankan Pemerintah Aceh segera menggelar forum bersama semua pemangku kepentingan: Gubernur, DPRA, Wali Nanggroe, Kapolda, Pangdam, Kajati, para bupati/wali kota, anggota DPR-RI dan DPD-RI dari Aceh, ulama, serta tokoh masyarakat. Tujuannya, kata Prof Jamil, bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk merumuskan sikap bersama.
“Sudahkah itu dilakukan? Kalau sudah, syukur. Kalau belum, ayo bergerak. Jangan biarkan bola liar terus bergulir, lalu semua hanya jadi penonton,” ujarnya.
Ia menilai langkah Kemendagri menetapkan keempat pulau tersebut sebagai wilayah Sumut tidak mengindahkan pedoman teknis yang ada.
“Permendagri No. 41 Tahun 2017 tegas menyebut tiga dasar penegasan batas wilayah: peta topografi, peta bumi, dan survei lapangan. Apakah semua itu benar-benar dilaksanakan dengan mengacu pada data Aceh? Saya sangsi,” tegasnya.
Lebih jauh, Prof TM menilai keputusan Kemendagri ini bukan hanya gegabah, tapi berpotensi mencederai prinsip keadilan antarwilayah.
“Ini bukan hanya soal tata kelola pemerintahan, ini soal kedaulatan daerah. Jangan sampai karena semangat birokratis, hak daerah dipangkas begitu saja. Kita harus bersuara. Harus bersikap. Jangan diam,” tegasnya lagi.
Ia mengaku heran dengan sikap sebagian pemangku kepentingan di Aceh yang belum bersuara lantang.
“Di mana suara DPRA? Di mana suara Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe? Rakyat bertanya. Ini bukan masalah kecil,” sindir Prof Jamil.
Ketika ditanya soal tawaran kerja sama pengelolaan empat pulau itu antara Aceh dan Sumut, Prof Jamil menjawab tegas.
“Kerja sama itu penting, tapi bukan di atas tanah yang sedang dirampas. Kembalikan dulu keempat pulau itu ke Aceh. Baru bicara kolaborasi. Ini soal prinsip,” katanya.
Ia mengkritik keras bahasa kekuasaan yang kerap dilontarkan pihak pusat, seperti “jika tak puas, silakan gugat”. Menurutnya, cara berkomunikasi semacam itu mencerminkan arogansi kekuasaan.
“Dalam catatan saya, rakyat dan pemerintah daerah hampir tak pernah menang ketika berhadapan secara hukum dengan pemerintah pusat. Tapi apakah kita harus tunduk begitu saja? Tidak. Kita butuh cara yang lebih cerdas, lebih bermartabat, dan lebih kolektif. Ini saatnya bersatu,” tandasnya.
Menutup perbincangan, Prof TM Jamil menyatakan harapannya kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia yakin, sebagai pemimpin yang dekat dengan Aceh, Prabowo akan mengambil langkah korektif jika semua pihak di Aceh bersatu menyuarakan penolakan terhadap keputusan Kemendagri.
“Saya percaya Pak Prabowo itu seorang demokrat sejati. Apalagi beliau sangat baik dengan Muallem. Kalau Aceh bersikap tegas dan bersatu, saya yakin beliau akan membatalkan keputusan itu,” pungkas Prof TM Jamil sambil tersenyum.[]
Editor: Ayahdidien